Mengenai
asal-usul nama “Bandung”, dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa, kata ‘Bandung” dalam bahasa Sunda, identik dengan kata “banding” dalam
bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabandeng (Sunda) berarti berdampingan
atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan
Pustaka Setia (1996), bahwa kata “Bandung” berarti berpasangan dan berarti pula
berdampingan.
Pendapat lain
mengatakan, bahwa kata “bandung” mengandung arti besar atau luas. Kata itu
berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng adalah sebutan untuk
genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga
kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi “Bandung”. Ada pula pendapat
yang menyatakan bahwa kata “Bandung” berasal dari kata “bendung”.
Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata “Bandung” itu, rupanya berkaitan
dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang
oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun
yang lalu). Akibatnya, daerah antara Padalarang hingga Cicalengka (± 30
kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu hingga Soreang (± 50
kilometer) terendam air menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan
sebutan “Danau Bandung” atau “Danau Bandung Purba”. Berdasarkan basil
penelitian geologi, air “Danau Bandung” diperkirakan mulai surut pada masa
neolitikum (± 8000 – 7000 s.M.). Proses surutnya air danau itu berlangsung
secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara
historis, kata atau nama “Bandung” mulai dikenal sejak di daerah bekas danau
tersebut berdiri pemerintah Kabupaten Bandung (sekitar dekade ketiga abad
ke-17). Dengan demikian, sebutan “Danau Bandung” terhadap danau besar itu pun
terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.
Lutung Kasarung
Dahulu ada seorang raja yang adil dan bijaksana Prabu Tapa Agung
namanya. Beliau dianugrahi tujuh orang putri. Berturut-turut mereka itu adalah
Purbararang, Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuih, dan
si bungsu Purbasari. Ketujuh putri itu sudah menikah remaja dan semuanya
cantik-cantik. Yang paling cantik dan paling manis budinya adalah Purbasari. Ia
menjadi buah hati seluruh rakyat Kerajaan Pasir Batang.
Putri sulung Purbararang sudah bertunangan dengan Raden Indrajaya,
putra salah seorang mentri kerajaan. Kepada Purbararang dan Indrajayalah
seharusnya Prabu Tapa Agung dapat mempercayakan kerajaan. Akan tetapi, walaupun
beliau sudah lanjut usia dan sudah waktunya turun tahta, beliau belum leluasa
untuk menyerahkan mahkota. Karena, baik Purbararang maupun Indrajaya belum dapat
beliau percaya sepenuhnya.
Sang Prabu merasa sebagai putri sulung, Perangai Purbararang tidak
sesuai dengan yang diharapkan dari seorang pemimpin kerajaan. Purbararang
mempunyai sifat angkuh dan kejam, sedangkan Indrajaya adalah seorang pesolek.
Bangsawan muda itu akan lebih banyak memikirkan pakaian dan perhiasan dirinya
daripada mengurus keamanan dan kesejahteraan rakyat kerajaan.
Menghadapi masalah seperti itu, Prabu Tapa Agung sering bermuram
durja. Demikian pula permaisurinya, ibunda ketujuh putri itu. Mereka sering
membicarakan masalah itu, tetapi tidak ada jalan keluar yang ditemukan.
Namun, kiranya kerisauan dan kebingungan raja yang baik itu
diketahui oleh Sunan Ambu yang bersemayam di kahyangan atau Buana Pada. Pada
suatu malam, ketika Prabu Tapa Agung tidur, beliau bermimpi. Di dalam mimpinya
itu Sunan Ambu berkata, “Wahai Raja yang baik, janganlah risau. Sudah saatnya
kamu beristirahat. Tinggalkanlah istana. Tinggalkanlah tahta kepada putri
bungsu Purbasari. Laksanakanlah keinginanmu untuk jadi pertapa.”
Setelah beliau bangun, hilanglah kerisauan beliau. Petunjuk dari
khayangan itu benar-benar melegakan hati beliau dan permaisuri.
Keesokan harinya sang Prabu mengumpulkan ketujuh putri beliau,
pembantu, penasehat beliau yang setia, yaitu Uwak Batara Lengser, patih, para
menteri dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya.
Beliau menyampaikan perintah Sunan Ambu dari Kahyangan bahwa sudah
saatnya beliau turun tahta dan menyerahkan kerajaan kepada Putri Purbasari.
Berita itu diterima dengan gembira oleh kebanyakan isi istana,
kecuali oeh Purbararang dan Indrajaya. Mereka pura-pura setuju, walaupun
didalam hati mereka marah dan mulai mencari akal bagaimana merebut tahta dari
Purbasari.
Akal itu segera mereka dapatkan. Sehari setelah ayah bunda mereka
tidak berada di istana, Purbararang dengan bantuan Indrajaya menyemburkan
boreh, yaitu zat berwara hitam yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan, ke wajah dan
badan Purbasari.
Akibatnya Purbasari menjadi hitam kelam dan orang Pasir Batang
tidak mengenalinya lagi. Itulah sebabnya putri bungsu itu tidak ada yang
menolong ketika diusir dari istana.
Tak ada yang percaya ketika dia mengatakan bahwa ia Purbasari, Ratu
Pasir Batang yang baru. Di samping itu, mereka yang tahu dan menduga bahwa
gadis hitam kelam itu adalah Purbasari, tidak berani pula menolong.
Mereka takut akan Purbararang yang terkenal kejam. Bahkan Uwak
Batara Lengser tidak berdaya mencegah tindakan Purbararang itu.
Ketika ia disuruh membawa Purbasari ke hutan, ia menurut. Akan
tetapi setiba di hutan, Uwak Batara Lengser membuatkan gubuk yang kuat bagi
putri bungsu itu. Ia pun menasehatinya dengan kata-kata lembut, “Tuan Putri
bersabarlah. Jadikanlah pembuangan ini sebagai kesempatan bertapa untuk memohon
perlindungan dan kasih sayang para penghuni kahyangan. “Nasehat Uwak Batara
Lengser itu mengurangi kesedihan Putri Purbasari. Ia setuju bahwa ia akan
melakukan tapa. “Bagus, Tuan Putri. Janganlah khawatir, Uwak akan sering datang
kesini menengok dan mengirim persediaan.”
Selagi didunia atau Buana Panca Ttengah terjadi peristiwa
pengusiran dan pembuangan Purbasari kedalam hutan, di Kahyangan atau Buana Pada
terjadi peristiwa lain.
Berhari-hari Sunan Ambu gelisah karena putranya Guruminda tidak
muncul. Maka Sunan Ambu pun meminta para penghuni kahyangan baik pria maupun
wanita untuk mencarinya.
Tidak lama kemudian seorang pujangga datang dan memberitakan bahwa
Guruminda berada ditaman Kahyangan. Ditambahkan bahwa Guruminda tampak bermuram
durja. Sunan Ambu meminta kepada pelayan kahyangan agar Guruminda dipanggil,
diminta menghadap.
Agak lama Guruminda tidak memenuhi panggilan itu sehingga ia
dipanggil kembali. Akhirnya dia muncul dihadapan ibundanya, Sunan Ambu.
Akan tetapi, ia bertingkah laku lain dari pada biasanya. Ia terus
menunduk seakan-akan malu memandang wajah ibunya sendiri. Namun, kalau Sunan
Ambu sedang tidak melihat, ia mencuri-curi pandang.
“Guruminda, anakku, apakah yang kau sedihkan?Ceritalah kepada Ibu,”
ujar Sunan Ambu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Guruminda tidak menjawab.
Demikian pula ketika Sunan Ambu mengulang pertanyaan beliau. Karena Sunan Ambu
seorang wanita yang arif, beliau segera menyadari apa yang terjadi dengan
putranya.
Beliau berkata, “Ibu sadar, sekarang kau sudah remaja. Usiamu tujuh
belas tahun. Adakah bidadari yang menarik hatimu. Katakanlah pada Ibu siapa
dia. Nanti Ibu akan memperkenalkanmu kepadanya.” Untuk beberapa lama Guruminda
diam saja. “Guruminda, berkatalah, “ujar Sunan Ambu.
Guruminda pun berkata, walaupun perlahan-lahan sekali, “Saya tidak
ingin diperkenalkan dengan bidadari manapun, kecuali yang secantik Ibunda,”
katanya.
Mendengar perkataan putranya itu Sunan Ambu terkejut. Akan tetapi,
sebagai wanita yang arif beliau tidak kehilangan akal apalagi marah. Beliau
arif bahwa putranya sedang menghadapi persoalan. Beliau pun berkata,
“Guruminda, gadis yang serupa dengan Ibunda tidak ada di Buana Pada ini. Ia
berada di Buana Panca Tengah. Pergilah kamu ke sana. Akan tetapi tidak sebagai
Guruminda. Kamu harus menyamar sebagai seekor kera atau lutung.”
Setelah Sunan Ambu berkata begitu, berubahlah Guruminda menjadi
seekor kera atau lutung. “Pergilah anakku, ke Buana Panca Tengah, kasih
sayangku akan selalu bersamamu. Kini namamu Lutung Kasarung.”
Guruminda sangat terkejut dan sedih ketika menyadari bahwa dia sudah
menjadi lutung. Ia beranggapan bahwa ia telah dihukum oleh Ibunda Sunan Ambu
karena kelancangannya. Ia cuma menunduk. “Pergilah, Anakku. Gadis, itu menunggu
disana dan memerlukan bantuanmu.” ujar Sunan Ambu pula.
Guruminda sadar bahwa menjadi lutung adalah sudah nasibnya dan ia
pun mengundurkan diri dari hadapan ibundanya. Dengan harapan akan bertemu gadis
yang serupa dengan ibundanya, ia meninggalkan Buana Pada. Ia melompat dari awan
ke awan hingga akhirnya tiba di bumi. Guruminda mencari tempat yang cocok untuk
turun. Ketika melihat sebuah hutan, ia pun melompat ke bumi. Ia melompat dari
pohon ke pohon. Lutung-lutung dan monyet-monyet mengelilinginya. Karena mereka
menyadari bahwa Guruminda, yang berganti nama menjadi Lutung Kasarung, lebih
besar dan cerdas, mereka menerimanya sebagai pemimpin. Demikianlah Lutung
Kasarung mengembara di dalam hutan belantara, mencari gadis yang sama cantiknya
dengan ibunda Sunan Ambu.
Tersebutlah di kerajaan Pasir Batang, Ratu Purbararang hendak
melaksanakan upacara. Dalam upacara itu diperlukan kurban binatang. Ratu
Purbararang memanggil Aki Panyumpit. “Aki!” katanya, “Tangkaplah seekor hewan
untuk dijadikan kurban dalam upacara. Kalau kamu tidak mendapatkannya nanti
siang, kamu sendiri jadi gantinya.”
Dengan ketakutan yang luar biasa Aki Panyumpit tergesa-gesa masuk
hutan belantara. Akan tetapi, tidak seekor bajingpun ia temukan.
Binatang-binatang sudah diberi tahu oleh Lutung Kasarung agar bersembunyi.
Lalu, berjalanlah Aki Panyumpit kian kemari di dalam hutan itu hingga
kelelahan.
Ia pun duduk dibawah pohon dan menangis karena putus asa. Pada saat
itulah Lutung Kasarung turun dari pohon dan duduk dihadapan Aki Panyumpit. Aki
Panyumpit segera mengambil sumpitnya dan membidik kearah Lutung Kasarung.
Namun Lutung Kasarung berkata, “Janganlah menyumpit saya karena
saya tidak akan mengganggumu. Saya datang kesini karena melihat kakek
bersedih.”
Aki Panyumpit terkejut mendengar lutung dapat berbicara. “Mengapa
kakek bersedih?” tanya Lutung Kasarung.
Ditanya demikian, Aki Panyumpit menceritakan apa yang dialaminya.
“Kalau begitu bawalah saya ke istana,kakek,” ujar Lutung Kasarung.
“Tetapi kamu akan dijadikan kurban!” kata Aki Panyumpit yang
menyukai Lutung Kasarung.
“Saya tidak rela kamu dijadikan kurban,” lanjut Aki Pannyumpit.
“Tetapi kalau kakek tidak berhasil membawa hewan, kakek sendiri
yang akan disembelih sebagai kurban,” jawab Lutung Kasarung.
Aki Panyumpit tidak dapat berkata-kata lagi karena bingung.
“Oleh karena itu, bawalah saya ke istana. Janganlah khawatir,” Kata
Lutung Kasarung.
“Baiklah, kalau begitu”, kata Aki Panyumpit. Mereka pun keluar dari
hutan menuju kerajaan Pasir Batang.
Setiba di alun-alun kerajaan, beberapa prajurit memegang dan
mengikat Lutung Kasarung. Prajurit lain mengasah pisau untuk menyembelihnya.
Lutung Kasarung yang sudah di ikat dibawa ketengah alun-alun. Di
sana Purbararang dan Indrajaya serta para pembesar kerajaan sudah hadir.
Demikian pula lima putri adik-adik Purbararang.
Saat itu segala perlengkapaan upacara sudah disiapkan. Seorang
pendeta sudah mulai menyalakan kemenyan dan berdoa. Seorang prajurit dengan
pisau yang sangat tajam berjalan akan melaksanakan tugasnya. Ia memegang kepala
Lutung Kasarung. Akan tetapi, tiba-tiba Lutung Kasarung menggeliat.
Tambang-tambang ijuk yang mengikat tubuhnya satu persatu mulai
putus dan kemudian Ia pun bebas. Ia lalu memporak-porandakan perlengkapan
upacara. Para putri dan wanita-wanita bangsawan menjerit ketakutan. Para
prajurit mencabut senjata dan berusaha membunuh Lutung Kasarung. Namun, tidak
seorang pun sanggup mendekatinya.
Lutung Kasarung sangat lincah dan tangkas. Ia melompat- lompat
kesana kemari, di tengah-tengah hadirin yang berlari menyelamatkan diri.
Lutung Kasarung sengaja merusak barang-barang dan perlengkapan. Di
melompat ke panggung tempat para putri menenun dan merusak perlengkapan tenun.
Setelah hadirin melarikan diri dan prajurit-prajurit kelelahan,
Lutung Kasarung duduk di atas benteng yang mengelilingi halaman dalam istana .
Dari dalam istana, Purbararang dan adik-adiknya memandanginya
dengan keheranan dan ketakutan. Indrajaya ada pula disana, ikut sembunyi dengan
putri-putri dan para wanita.
Purbararang kemudian menjadi marah, “Bunuh! Ayo bunuh lutung itu!”
teriaknya. Beberapa orang prajurit maju akan mengepung Lutung Kasarung lagi.
Akan tetapi, Lutung Kasarung segera menyerang mereka dan membuat mereka lari
ketakutan ke berbagai arah.
Uwak Batara Lengser adalah orang tua yang bijaksana, walaupun sudah
tua tetap gagah berani. Ia berjalan menuju Lutung Kasarung dan berdiri di
dekatnya. Ternyata, Lutung Kasarung tidak memperlihatkan sikap permusuhan
kepadanya. “Kemarilah Lutung, janganlah kamu nakal dan menakut-nakuti orang,
kamu anak yang baik.”
Pada saat itu beberapa orang prajurit mencoba menyergap Lutung
Kasarung. Namun, Lutung Kasarung selalu waspada. Ia menyerang balik, mencakar,
dan menggigit mereka. Mereka tunggang langgang melarikan diri dan tidak berani
muncul kembali. Setelah itu Lutung Kasarung kembali kepada Uwak Batara Lengser
dan seperti seorang anak yang baik, duduk didekat kaki orang tua itu.
Purbararang yang melihat pemandangan itu dari jauh, timbul niat
jahatnya. Lutung yang besar dan jahat itu sebaiknya dikirim kehutan tempat
Purbasari berada, pikirnya. Kalau Purbasari tewas diterkam lutung itu, maka ia
akan tenang menduduki tahta Kerajaan Pasir Batang. Cara mengirim lutung itu
tampaknya dapat dilaksanakan melalui Uwak Batara Lengser karena lutung itu
tidak memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Uwak Batara Lengser.
Berkatalah Purbararang kepada Uwak Batara Lengser, meminta orang
tua itu mendekat. Orang tua itu menurut, “Uwak Batara Lengser, singkirkan
lutung galak itu kehutan. Tempatkan bersama Purbasari. Kalau sudah jinak, kita
kurbankan nanti.” Uwak Batara Lengser tahu maksud Purbararang, tetapi ia menurut
saja. Ia pun tidak yakin apakah lutung itu akan mencederai Purbasaari. Ia
melihat sesuatu yang aneh pada lutung itu. Itulah sebabnya ia mengulurkan
tangan pada lutung itu sambil berkata, “Marilah kita pergi, lutung. Kamu saya
bawa ketempat yang lebih cocok bagimu.” Lutung itu menurut. Uwak Batara Lengser
pun menuntunnya meninggalkan tempat itu dan menuju ke hutan.
Sampai di hutan, Uwak Batara Lengser berseru kepada Purbasari
memberitahukan kedatangannya. Purbasari keluar dari gubuk dengan gembira.
Lutung Kasarung melihat seorang gadis yang kulitnya hitam kelam di celup boreh.
Ia tertegun sejenak sehingga Uwak Batara Lengser berkata kepadanya, “Itu Putri
Purbasari. Ia gadis yang manis dan baik hati. Kamu harus menjaganya.”
“Ya,” kata Lutung Kasarung.
Uwak Batara Lengser dan Purbasari keheranan. Akan tetapi, Uwak
Batara Lengser berkata, “Semoga kedatanganmu ke Pasir Batang dikirim Kahyangan
untuk kebaikan semua.”
Setelah Uwak Batara Lengser pergi, Lutung Kasarung meminta bantuan
kawan-kawannya untuk mengumpulkan buah-buahan dan bunga-bungaan untuk
Purbasari. Putri itu benar-benar terhibur dalam kesedihannya. Ia pun tidak
kesunyian lagi. Bukan saja Lutung Kasarung selalu ada didekatnya, tetapi
binatang-binatang lain seperti rusa, bajing, dan burung-burung berbagai jenis,
berkumpul dekat gubuknya.
Ketika malam tiba, Lutung Kasarung berdoa, memohon kepada Ibunda
Sunan Ambu agar membantunya. Sunan Ambu mendengar doanya dan memerintahkan
kepada beberapa orang pujangga dan pohaci agar turun ke bumi untuk membantu
Lutung Kasarung.
Ketika para pujangga tiba dihutan itu, Lutung Kasarung meminta
kepada mereka agar dibuatkan tempat mandi bagi Purbasari. Para pujangga yang
sakti itu membantu Lutung Kasarung membuat jamban salaka, tempat mandi dengan
pancuran emas dan lantai serta dinding pualam. Airnya dialirkan dari mata air
yang jernih yang ditampung dulu dalam telaga kecil. Ke dalam telaga kecil itu
ditaburkan berbagai bunga-bungaan yang wangi. Sementara itu para pohaci
menyiapkan pakaian bagi Purbasari. Pakaian itu bahannya dari awan dan warnanya
dari pelangi. Tak ada pakaian seindah itu di bumi.
Keesokan harinya Purbasari sangat terkejut melihat Jamban Salaka
itu. Akan tetapi, Lutung Kasarung mengatakan kapadanya bahwa ia tidak perlu
heran. Kabaikan hati Purbasari telah menimbulkan kasih sayang Kahyangan
kepadanya.
“Jamban Salaka dan pakaian yang tersedia di dalamnya adalah hadiah
dari Buana Pada bagi Tuan Putri,” kata Lutung Kasarung
“Kau sendiri adalah hadiah dari Buana Pada bagiku, Lutung,” kata
Purbasari, lalu memasuki Jamban Salaka. Ternyata, air di Jamban Salaka memiliki
khasiat yang tidak ada pada air biasa dipergunakan Purbasari.
Ketika air itu dibilaskan, hanyutlah boreh dari kulit Purbasari.
Kulitnya yang kuning langsat muncul kembali bahkan lebih cemerlang. Dalam
kegembiraannya, Purbasari tidak putus-putusnya mengucapkan syukur kepada
Kahyangan yang telah mengasihinya.
Selesai mandi, ia mengambil pakaian buatan para pohaci. Ia
terpesona oleh keindahan pakaian yang dilengkapi perhiasan-perhiasan yang
indah. Ia pun segera mengenakannya, lalu keluar dari Jamban Salaka. ‘Lutung
lihatlah!. Apakah pakaian ini cocok bagiku?”
Lutung Kasarung sendiri terpesona. Dalam hatinya ia berkata, “Putri
Purbasari, engkau seperti kembaran Ibunda Sunan Ambu, hanya jauh lebih muda.”
“Lutung, pantaskah pakaian ini bagiku?” tanya Purbasari pula.
“Para pohaci mencocokkannya bagi tuan putri,” jawab Lutung Kasarung
seraya bersyukur dalam hatinya dan memuji kebijaksanaan Ibunda Sunan Ambu.
Peristiwa didalam hutan itu akhirnya terdengar oleh Purbararang.
Rakyat Kerajaan Pasir Batang yang biasa mencari buah-buahan atau berburu
kehutan membawa kabar aneh. Mereka bercerita tentang hutan yang berubah menjadi
taman, tentang gubuk gadis hitam yang berubah menjadi istana kecil, tentang
tempat mandi yang sangat indah, dan pimpinan seekor lutung yang sangat besar.
Seekor lutung besar menyebabkan mereka tidak berani memasuki taman itu.
Kabar aneh itu sampai juga ke telinga Purbararang. Ia menduga ada
bangsawan-bangsawan Pasir Batang yang diam-diam membantu Purbasari. Ia pun
menjadi marah dan berpikir mencari jalan untuk mencelakakan Purbasari. Ia
segera menemukan jalan untuk mecelakakan adik bungsunya itu.
Purbararang berpendapat bahwa para bangsawan Pasir Batang yang
berpihak pada Purbasari tidak akan berani membantu adiknya itu secara
terang-terangan. Oleh karena itu, Purbasari harus ditantang dalam pertandingan
terbuka.
Para bangsawan dapat membuatkan Purbasari taman, istana kecil, dan
Jamban Salaka. Itu mereka lakukan sembunyi-sembunyi dalam waktu yang lama,
pikir Purbararang. Kalau Purbasari diharuskan membuat huma dalam satu hari
seluas lima ratus depa, tak ada yang berani atau dapat membantunya. Ia sendiri
dengan mudah akan dapat membuka huma ribuan depa dengan bantuan para prajurit.
Maka ia pun memanggil Uwak Batara Lengser dan berkata, “Uwak,
berangkatlah ke hutan. Sampaikan pada Purbasari bahwa saya menantangnya
berlomba membuat huma. Purbasari harus membuat huma seluas lima ratus depa dan
harus selesai sebelum fajar besok. Kalau tidak dapat menyelesaikannya, atau
tidak dapat mendahului saya maka ia akan dihukum pancung.”
Uwak Batara Lengser segera pergi kehutan. Ia disambut oleh
Purbasari dan Lutung Kasarung. Ketika mendengar berita yang menakutkan itu,
Purbasari pun menangis. ‘Kalau nasib saya harus mati muda, saya rela. Yang
menyebabkan saya menangis adalah tindakan kakanda Purbararang. Begitu besarkah
kebenciannya kepada saya?”
Lutung Kasarung berkata, “Jangan khawatir Tuan Putri, Kahiangan
tidak akan melupakan orang yang tidak bersalah.”
Sementara ketiga sahabat itu sedang berbicara didalam hutan,
Purbararang tidak menyia-nyiakan waktu. Ia memanggil seratus orang prajurit dan
memerintahkan agar mereka membuka hutan untuk huma didekat tempat tinggal
Purbasari. Huma harus selesai keesokan harinya. Kalau tidak selesai, para
prajurit itu akan dihukum pancung. Para prajurit yang ketakutan segera
berangkat ke hutan dan langsung bekerja keras membuka hutan. Mereka terus
bekerja walaupun malam turun dan mulai gelap. Mereka terpaksa menggunakan obor
yang banyak jumlahnya.
Sementara itu Lutung Kasarung mempersilahkan Purbasari masuk
kedalam istana kcilnya untuk beristirahat. “Serahkanlah pekerjaan membuat huma
itu kepada saya, Tuan Putri,’ katanya.
Ketika Purbasari sudah masuk kedalam istana kecilnya, Lutung Kasarung
segera berdoa, memohon bantuan Ibunda Sunan Ambu dari Buana Pada. Doanya
didengar dan Sunan Ambu mengutus empat puluh orang pujangga untuk membuat huma.
Lahan yang dipilih adalah sebidang huma yag sudah terbuka dan cocok untuk
ditanami padi. Huma itu letaknya tidak jauh dari hutan yang sedang dibuka oleh
prajurit-prajurit Pasir Batang.
Keesokan harinya ketika matahari terbit, berangkatlah rombongan
dari istana Pasir Batang menuju hutan. Purbararang duduk diatas tandu yang
dihiasi sutra dan permata yang gemerlapan. Sementara itu tunangannya,
Indrajaya, menunggang kuda di sampingnya. Lima orang putri bersaudara ada pula
dalam rombongan bersama sejumlah bangsawan. Ratusan prajurit mengawal. Tak
ketinggalan seorang algojo dengan kapak besarnya. Purbararang yakin bahwa hari
itu ia akan dapat menghukum pancung adiknya, Purbasari. Akan tetapi, ia dan
rombongan terkejut sebab disamping huma yang dibuka para prajurit telah ada
pula huma lain yang lebih bagus.
Di tengah huma itu berdiri Uwak Batara Lengser dan Lutung Kasarung.
“Gusti Ratu,” kata Uwak Batara Lengser, “Inilah huma Putri Purbasari.”
Purbararang benar-benar kecewa, malu,dan marah. Ia berteriak,
“Baik, tetapi sekarang saya menantang Purbasari bertanding kecantikan denganku.
Kalian yang menilai,” katanya seraya berpaling pada khalayak.
Purbararang menyangka Purbasari masih hitam kelam karena boreh.
“Uwak, suruh dia keluar dari rumahnya!”
Uwak Batara Lengser mempersilahkan Purbasari keluar dari istana
kecilnya. Purbasari muncul dan orang-orang memadangnya dengan takjub. Banyak
yang lupa bernapas dan berkedip. Banyak pula yang lupa menutup mulutnya.
Begitu cantiknya Purbasari sehingga seorang bangsawan berkata,
“Saya seakan-akan melihat Sunan Ambu turun ke Bumi.”
Melihat hal itu mula-mula Purbararang kecut. Akan tetapi dia ingat,
bahwa dia masih punya harapan untuk menang. Ia berteriak, “Purbasari, marilah
kita bertanding rambut. Siapa yang lebih panjang, dia menang. Lepas sanggulmu!”
Sambil berkata begitu Purbararang berdiri dan melepas sanggulnya. Rambutnya
yang hitam dan lebat terurai hingga kepertengahan betisnya.
Purbasari terpaksa menurut. Ia pun melepas sanggulnya. Rambutnya
yang hitam berkilat dan halus bagai sutra bergelombang bagaikan air terjun
hingga ketumitnya. Purbararang terpukul kembali. Akan tetapi, dia tidak
kehabisan akal. Ia ingat bahwa ia mempunyai pinggang yang sangat ramping.. Ia
berkata, “Lihat semua. Ikat pinggang yang kupakai ini bersisa lima lubang.
Kalau Purbasari menyisakan kurang dari lima lubang, ia dihukum pancung.” Seraya
berkata begitu ia melepas ikat pinggang emas bertahta permata dan
melemparkannya kepada Purbasari. Purbasari memakainya dan ternyata tersisa
tujuh lubang
.
Sekarang Purbararang menjadi kalap. Ia berteriak, “Hai orang-orang Pasir Batang, masih ada satu pertandingan yang tidak mungkin dimenangkan oleh Purbasari. Pertandingan apa itu? Coba tebak!” katanya seraya melihat wajah-wajah bangsawan Pasir Batang yang berdiri didekatnya. Ia tertawa karena yakin ia akan menang dalam pertandingan terakhir ini.
.
Sekarang Purbararang menjadi kalap. Ia berteriak, “Hai orang-orang Pasir Batang, masih ada satu pertandingan yang tidak mungkin dimenangkan oleh Purbasari. Pertandingan apa itu? Coba tebak!” katanya seraya melihat wajah-wajah bangsawan Pasir Batang yang berdiri didekatnya. Ia tertawa karena yakin ia akan menang dalam pertandingan terakhir ini.
“Pertandingan apa, Kakanda?” kata salah seorang di antara adiknya.
Purbararang tersenyum. “Dengarkan!” katanya pula, “Dalam
pertandingan ini kalian harus membandingkan siapa di antara calon suami kami
yang lebih tampan. Lihat kepada tunangan saya, Indrajaya. Bagaimana pendapat
kalian? Tampankah ia?”
Untuk beberapa lama tidak ada yang menjawab. Mereka bingung dan
terkejut. Purbararang membentak, “Jawab! Tampankah dia?” Orang-orang menjawab,
“Tampan, Gusti Ratu!” Purbararang tidak puas, “Lebih nyaring!”
“Tampan Gusti Ratu!”
Sambil tersenyum Purbararang melihat kearah Purbasari yang berdiri
dekat Uwak Batara Lengser dan Lutung Kasarung. “Dengarkanlah, Purbasari.
Sekarang kamu tidak bisa lolos. Kita akan bertanding membandingkan ketampanan
calon suami. Calon suamiku adalah Indrajaya yang tampan dan gagah itu. Siapakah
calon suamimu itu?” Purbasari kebingungan. “Siapa lagi calon suamimu kecuali
lutung besar itu?” teriak Purbararang seraya menunjuk ke arah Lutung Kasarung.
Lalu ia tertawa.
Purbasari terdiam. Ia memandang ke arah Lutung Kasarung. Semuanya
terdiam. Algojo melangkah ke arah Purbasari seraya memutar-mutar kapaknya yang
lebar dan tebal. Seraya memandang ke arah Lutung Kasarung dan sambil tersenyum
sayu Purbasari berkata, “Memang seharusnya kamu menjadi calon suamiku, Lutung.”
Mendengar apa yang diucapkan Purbasari itu gembiralah Purbararang.
Sekarang ia dapat membinasakan Purbasari. Akan tetapi, sesuatu terjadi.
Mendengar perkataan Purbasari itu, Lutung Kasarung berubah, kembali ke asalnya
sebagai Guruminda yang gagah dan tampan. Semua terheran-heran dan terpesona
oleh ketampanan Guruminda. Guruminda sendiri memegang tangan Purbasari dan
berkata, “Ratu kalian yang sebenarnya, Purbasari, telah mengatakan bahwa saya
sudah seharusnya menjadi calon suaminya. Sebagai calon suaminya, saya harus
melindungi dan membantunya. Tahtanya telah direbut oleh Purbararang. Sebagai
tunangan Purbararang, Anda harus berada di pihaknya, Indrajaya. Oleh karena
itu, marilah kita berperang tanding.”
Indrajaya bukannya siap berperang tanding, tetapi malah berlutut
dan menyembah kepada Guruminda, mohon ampun dan dikasihani. Purbararang
menangis dan minta maaf kepada Purbasari. Sementara itu para bangsawan dan
prajurit serta rakyat justru bergembira. Mereka akan bebas dari ketakutan dan
tekanan para pendukung Purbararang.
Pada hari itu juga Ratu purbasari kembali ke Kerajaan didampingi
oleh suaminya, Guruminda. Purbararang dan Indrajaya dihukum dan dipekerjakan
sebagai tukang sapu di taman istana. Rakyat merasa lega. Mereka kembali bekerja
dengan rajin seperti di jaman pemerintahan Prabu Tapa Agung. Berkat bantuan
Guruminda, Purbasari memerintah dengan cakap dan sangat bijaksana. Rakyat
Kerajaan Pasir Batang merasa terlindungi, suasana aman dan tentram sehingga
mereka bisa bekerja dengan tenang pada akhirnya kemakmuran dapat mereka peroleh
secara nyata dan merata.
Asal Usul Telaga Warna
Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama
Kutatanggeuhan. Kutatanggeuhan merupakan kerajaan yang makmur dan damai. Rakyatnya
hidup tenang dan sejahtera karena dipimpin oleh raja yang bijaksana. Raja
Kutatanggeuhan bernama Prabu Suwartalaya dan permaisurinya bernama Ratu
Purbamanah. Raja dan ratu sangant bijaksana sehingga kerjaan yang dipimpin
makmur dan tenteram.
Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum
memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu
menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju.
“Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat,” sahut
mereka.
Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat
istrinya. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus
berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka
terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali.
Mereka membanjiri istana dengan hadiah.
Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri yang
diberinama Gilang Rukmini . Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil
itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun
kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.
Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya
apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau
keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata
kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.
Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh
negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di
negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah.
Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya
dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan
rakyat.
Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke
ahli perhiasan. “Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku,” kata
Prabu. “Dengan senang hati, Yang Mulia,” sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja
d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling
indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.
Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun
istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira.
Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di
hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.
Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah
dipegangnya. “Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung
ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu.
Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi
dewasa. Pakailah kalung ini, Nak,” kata Prabu.
Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. “Aku
tak mau memakainya. Kalung ini jelek!” seru Putri. Kemudian ia melempar kalung
itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.
Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan
berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba
meledaklah tangis Ratu Purbamanah. Dia sangat sedih melihat kelakuan
putrinya.Akhirnya semua pun meneteskan air mata, hingga istana pun basah oleh
air mata mereka. Mereka terus menangis hingga air mata mereka membanjiri
istana, dan tiba-tiba saja dari dalam tanah pun keluar air yang deras, makin
lama makin banyak. Hingga akhirnya kerajaan Kutatanggeuhan tenggelam dan
terciptalah sebuah danau yang sangat indah.
Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang
indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman,
bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna
itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.
Usul Gunung Tangkuban Perahu
Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat
rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu
artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya
memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat Parahyangan
gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.
Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di
tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring
(keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa
ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan
seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi
nama Dayang Sumbi alias Rarasati.
Dayang Sumbi sangat cantik dan cerdas, banyak para raja yang
meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja
saling berperang di antara sesamanya. Galau hati Dayang Sumbi melihat kekacauan
yang bersumber dari dirinya. Atas permitaannya sendiri Dayang Sumbi
mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si
Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan
bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar
ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang
terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang
mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi pun menikahi Si Tumang dan dikaruniai bayi laki-laki
yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang memiliki kekuatan sakti seperti
ayahnya. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring selalu ditemani bermain oleh Si
Tumang yang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai
ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa
dan sakti.
Pada suatu hari Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya Si
Tumang untuk mengejar babi betina yang bernama Wayungyang. Karena si Tumang
tidak menurut, Sangkuriang marah dan membunuh Si Tumang. Daging Si Tumang oleh
Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah
Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah Si Tumang, kemarahannya
pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat
dari tempurung kelapa sehingga luka dan diusirlah Sangkuriang.
Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian
lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa
sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada.
Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang
Sumbi – ibunya, begitu juga sebaliknya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua
insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah
puteranya, dengan tanda luka di kepalanya.
Dayang Sumbi pun berusaha menjelaskan kesalahpahaman hubungan
mereka. Walau demikian, Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang
Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu
semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur,
tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya
ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para
guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon
kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi
menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula
fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak
kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat
aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung
Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang
dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud
menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di
Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang
setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya
menghilang ke alam gaib (ngahiyang).
Pohon Apel
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki
yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang
memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan
rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian
pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan
tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia
mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.
“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang
ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki
tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang
melihatnya datang.
“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.
Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.
Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel
merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
“Ayo bermain-main lagi deganku,” kata pohon apel.
“Aku sedih,” kata anak lelaki itu.
“Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.” Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya.
Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
“Aku sedih,” kata anak lelaki itu.
“Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.” Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya.
Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun
kemudian.
“Maaf anakku,” kata pohon apel itu.
“Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”
“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”
“Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”
“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air
matanya.
Legenda Kamandaka Si Lutung Kasarung
Cerita ini adalah versil lain dari Lutung Kasarung yang banyak
didengar di daerah Sunda. Cerita Lutung Kasarung ini merupakan cerita versi
Pasir Luhur. Tidaklah penting mana yang benar antara kedua versi tersebut, yang
jelas, cerita-cerita ini untuk menghibur dan dipetik pelajarannya.
Di Jawa Barat pada jaman dahulu kala ada sebuah Kerajaan Hindu yang
besar dan cukup kuat, yaitu berpusat di kota Bogor. Kerajaan itu adalah
Kerajaan “Pajajaran”, pada saat itu raja yang memerintah yaitu Prabu Siliwangi.
Beliau sudah lanjut usia dan bermaksud mengangkat Putra Mahkotanya sebagai
penggantinya.
Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putra dan satu orang putri dari
dua Permaisuri, dari permaisuri yang pertama mempunyai dua orang putra, yaitu
Banyak Cotro dan Banyak Ngampar. Namun sewaktu Banyak Cotro dan Banyak Ngampar
masih kecil ibunya telah meninggal.
Maka Prabu Siliwangi akhirnya kawin lagi dengan permaisuri yang
kedua, yaitu Kumudaningsih. Pada waktu Dewi Kumuudangingsih diambil menjadi
Permaisuri oleh Prabu Siliwangi, ia mengadakan perjanjian, bahwa jika kelak ia
mempunyai putra laki-laki, maka putranyalah yang harus meggantikan menjadi raja
di Pajajaran.
Dari perkawinannya dengan Dewi Kumudaningsih, Prabu Silliwangi
mempunyai seorang putra dan seorang putri, yaitu: Banyak Blabur dan Dewi
Pamungkas.
Pada suatu hari Prabu Siliwangi memanggil Putra Mahkotanya, Banyak
Cotro dan Banyak Blabur untuk menghadap, maksudnya ialah Prabu Siliwangi akan
mengangkat putranya untuk menggantikan menjadi raja di Pajajaran karena beliau
sudah lajut usia.
Namun dari kedua Putra Mahkotanya belum ada yang mau diangkat
menjadi raja di Pajajaran. Sebagai putra sulungnya Banyak Cokro mengajukan
beberapa alasan, antara lain alasannya adalah:
Untuk memerintahkan Kerajaan dia belum siap, karena belum cukup
ilmu.
Untuk memerintahkan Kerajaan seorang raja harus ada Permaisuri yang
mendampinginya, sedangkan Banyak Cotro belum kawin.
Banyak Cotro mengatakan bahwa dia baru kawin kalau sudah bertemu
dengan seorang putri yang parasnya mirip dengan ibunya. Oleh sebab itu Banyak
Cotro meminta ijin pergi dari Kerajaan Pajajaran untuk mencari putri yang
menjadi idamannya.
Kepergian Banyak Cotro dari Kerajaan Pajajaran melalui gunung
Tangkuban Perahu, untuk menghadap seorang pendeta yang bertempat di sana.
Pendeta itu ialah Ki Ajar Winarong, seorang Pendeta sakti dan tahu untuk
mempersunting putri yang di idam-idamkannya dapat tercapai.
Namun ada beberapa syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh
Banyak Cotro, yaitu harus melepas dan menaggalkan semua pakaian kebesaran dari
kerajaan dengan hanya memakai pakaian rakyat biasa. Dan ia harus menyamar
dengan nama samaran “Raden Kamandaka”
Setelah Raden Kamandaka berjalan berhari-hari dari Tangkuban Perahu
ke arah Timur, maka sampailah Raden Kamandaka kewilayah Kadipaten Pasir Luhur.
Secara kebetulan Raden Kamandaka sampai Pasir Luhur, betemu dengan
Patih Kadipaten Pasir Luhur yaitu Patih Reksonoto. Karena Patih Reksonoto sudah
tua tidak mempuunyai anak, maka Raden Kamandaka akhirnya dijadikan anak angkat
Patih Reksonoto merasa sangat bangga dan senang hatinya mempunyai Putra Angkat
Raden Kamandaka yang gagah perkasa dan tampan, maka Patih Reksonoto sangat mencintainya.
Adapun yang memerintahkan Kadipaten Pasir Luhur adalah “Adi Pati
Kanandoho”. Beliau mempunyai beberapa orang Putri dan sudah bersuami kecuali
yang paling bungsu yaitu Dewi Ciptoroso yang belum bersuami. Dewi Ciptoroso
inilah seorang putri yang mempunyai wajah mirip Ibu raden Kamandaka, dan Putri
inilah yng sedang dicari oeh Raden Kamandaka.
Suatu kebiasaan dari Kadipaten Pasir Luhur bahwa setiap tahun
mengadakan upacara menangkap ikan di kali Logawa. Pada upacara ini semua
keluarga Kadipaten Pasir Luhur beserta para pembesar dan pejabatan pemerintah
turut menangkap ikan di kali Logawa.
Pada waktu Patih Reksonoto pergi mengikuti upacara menangkap ikan
di kali Logawa, tanpa diketahuinya Raden Kamandaka secara diam-diam telah
mengikutinya dari belakang. Pada kesempatan inilah Raden Kamandaka dapat
bertemu dengan Dewi Ciptoroso dan mereka berdua saling jatuh cinta.
Atas permintaan dari Dewi Ciptoroso agar Raden Kamandaka pada malam
harinya untuk dating menjumpai Dewi Ciptoroso di taman Kaputren Kadipaten Pasir
Luhur tempat Dewi Ciptoroso berada. Benarlah pada malam harinya Raden Kamandaka
dengan diam-diam tanpa ijin patih Resonoto, ia pun pergi menjumpai Dewi
Ciptoroso yang sudah rindu menanti kedatangan Raden Kamandaka.
Namun keberadaan Raden Kamandaka di Taman Kaputren Bersama Dewi
Ciptoroso tidak berlangsung lama. Karena tiba-tiba prajurit pengawal Kaputren
mengetahui bahwa di dalam taman ada pencuri yang masuk. Hal ini kemu kemudian
dilaporkan oleh Adipatih Kandandoho.
Menanggapi laporan ini, maka Adipatih sangat marah dan
memerintahkan prajuritnya untuk menangkap peencuri tersebut. Karena kesaktian
dan ilmu ketangkasan yang dimiliki oleh Raden Kamandaka, maka Raden Kamandaka
dapat meloloskan diri dari kepungan prajurit Pasir Luhur.
Sebelum Raden Kamandaka lolos dari Taman Kaputren, ia sempat
mengatakan identitasnya. Bahwa ia bernama Raden Kamandaka putra dari Patih
Reksonoto.
Hal ini didengar olehh prajurit, dan melaporkan kepada Adipatih
Kandandoho. Mendengar hal ini maka Patih Reksonoto pun dipanggil dan harus
menyerahkan putra nya. Perintah ini dilaksanakan oleh Patih Reksonoto, walaupun
dalam hatinya sangatlah berat. Sehimgga dengan siasat dari Patih Reksonoto,
maka Raden Kamandaka dapat lari dan selamat dari pengejaran para prajurit.
Raden Kamandaka terjun masuk kedalam sungai dan menyelam mengikuti
arus air sungai. Oleh Patih Reksonoto dan para prajurit yang mengejar,
dilaporkan bahwa Raden Kamandaka dikatakan sudah mati didalam sugai. Mendengar
berita ini Adipatih Kandandoho merasa lega dan puas. Nmun sebaliknya Dewi
Ciptoroso yang setelah mendengar berita itu sangatlah muram dan sedih.
Sepanjang Raden Kamandaka menyelam mengikuti arus sungai bertemulah
dengan seorang yang memancing di sungai. Orang tersebut bernama Rekajaya, Raden
Kamandaka dan Rekajaya kemudian berteman baik dan menetap di desa Panagih. Di
desa ini Raden Kamandaka diangkat anak oleh Mbok Kektosuro, seorang janda
miskin di desa tersebbut.
Raden Kamandaka menjadi penggemar adu ayam. Kebetulan Mbok
Reksonoto mempunyai ayam jago yang bernama “Mercu”. Pada setiap penyabungan
ayam Raden Kamandaka selalu menang dalam pertandingan, maka Raden Kamandaka
menjadi sangat terkenal sebagai botoh ayam.
Hal ini tersiar sampai kerajaan Pasir Luhur, mendengar hal ini
Adipatih Kandadoho menjadi marah dan murka. Beliau memerintahkan prajuritnya
untuk menagkap hidup atau mati Raden Kamandaka.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah seorang pemuda tampan mengaku
dirinya bernama “Silihwarni” yang akan mengabdikan diri kepada Pasir Luhur,
maka ia permohonannya diterima, tetapi asalkan ia harus dapat membunuh Raden
Kamandaka. Untuk membuktikannya ia harus membawa darah dan hati Raden
Kamandaka.
Sebenarnya Silihwarni adalah nama samaran. Nama itu sebenarnya
adalah Banyak Ngampar Putra dari kerajaan Pajajaran, yaitu adik kandung dari
Raden Kamandaka.
Ia oleh ayahnya Prabu Siliwangi ditugaskan untuk mencari saudara
kandungnya yang pergi sudah lama belum kembali. Untuk mengatasi gangguan dalam
perjalanan, ia dibekali pusaka keris Kujang Pamungkas sebagai senjatanya. Dan
dia juga menyamar dengan nama Silihwarni, dan berpakaian seperti rakyat biasa.
Karena ia mendengar berita bahwa kakak kandungnya berada di
Kadipaten Pasir Luhur, maka ia pun pergi kesana. Setelah Silihwarni menerima
perintah dari Adipatih, pergilah ia dengan diikuti beberapa prajurit dan anjing
pelacak menuju desa Karang Luas, tempat penyabungan ayam.
Di tempat inilah mereka bertemu. Namun keduanya sudah tidak
mengenal lagi. Silihwari berpakaian seperti raknyat biasa sedangkan Raden
Kamandaka berpakaian sebagai botoh ayam, dan wajahnya pucat karena menahan
kernduan kepada kekasihnya.
Terjadilah persabungan ayan Raden Kamandaka dan Silihwarni, dengan
tanpa disadari oleh raden kamandaka tiba-tiba Silihwarni menikam pinggang Raden
Kamandaka dengan keris Kujang Pamungkasnya. Karena luka goresan keris itu
tersebut darahpun keluar dengan deras. Namun karena ketangkasan Raden
Kamandaka, ia pun dapat lolos dari bahaya tersebut dan tempat ia dapat lolos
itu dinamakan desa Brobosan, yang berarti ia dapat lolos dari bahaya.
Karena lukanya semakin deras mengeluarkan darah, maka ia pun
istirahat sebentar disuatu tempat, maka tempat itu dinamakan Bancran. Larinya
Raden Kamandaka terus dikejar oleh Silihwarni dan prajurit. Pada suatu tempat
Raden Kamandaka dapat menangkap anjing pelacaknya dan kemudian tempat itu
diberinya nama desa Karang Anjing.
Raden Kamandaka terus lari kearah timur dan sampailah pada jalan
buntu dan tempat ini ia memberi nama Desa Buntu. Pada akhirnya Raden Kamandaka
sampailah di sebuah Goa. Didalam Goa ini ia beristirahat dan bersembunyi dari
kejaraan Silihwarni. Silihwarni yang terus mengejar setelah sampai goa ia
kehilangan jejak. Kemudian Silihwarnipun dari mulut goa tersebut berseru
menantang Raden Kamandaka.
Setelah mendengar tantagan Silihwarni, Raden Kamandaka pun menjawab
ia mengatakan identitasnya, bahwa ia adalah putra dari kerajaan Pajajaran
namanya Banyak Cotro.
Setelah itu Silihwarnipun mengatakan identitasnya bahwa ia juga
putra dari Kerajaan Pajajaran, bernama Banyak Ngampar. Demikian kata-kata yang
pengakuan antara Raden Kamandaka dan Silihwarni bahwa mereka adalah putra
pajajaran, maka orang yang mendengar merupakan nama versi ke-2, untuk Goa
Jatijajar tersebut. Kemudian mereka berdua berpeluka dan saling memaafkan.
Namun karena Silihwarni harus membawa bukti hati dan darah Raden
Kamandaka, maka akhirnya anjing pelacaknya yang dipotong diambil darah dan
hatinya. Dikatakan bahwa itu adalah hati dan darah Raden Kamandaka yang telah
dibunuhnya.
Raden Kamandaka kemudian bertapa di dalam goa dan mendapat
petunjuk, bahwa niatnya untuk mempersunting Dewi Ciptoroso akan tercapai kalau
ia sudah mendapat pakaian “Lutung” dan ia disuruh supaya mendekat ke Kadipaten
Pasir Luhur, yaitu supaya menetap di hutan Batur Agung, sebelah Barat Daya dari
batu Raden.
Suatu kegemaran dari Adipatih Pasir Luhur adalah berburu. Pada
suatu hari Adipatih dan semua keluarganya berburu, tiba-tiba bertemulah dengan
seekor lutung yang sangat besar dan jinak. Yang akhirnya di tangkaplah lutung
tersebut hidup-hidup.
Sewaktu akan dibawa pulang, tiba-tiba Rekajaya datang mengaku bahwa
itu adalah lutung peliharaannya, dan mengatakan beredia membantu merawatnya
jika lutung itu akan dipelihara di Kadipaten. Dan permohonan itu pun
dikabulkan.
Setelah sampai di kadipaten para putri berebut ingin memelihara
lutung tersebut. Selama di Kadipaten lutung tersebut tidak mau dikasih makan.
Oleh sebab itu akhirnya oleh Adipatih lutung tersebut disayembarakan yaitu jika
ada salah seorang dari putrinya dapat memberi makan dan diterima oleh lutung
tersebut maka ia lah yang akan memelihara lutung tersebut.
Ternyata makanan yang diterima oleh lutung tersebut hanyalah
makanan dari Dewi Ciporoso, maka “Lutung Kasarung” itu menjadi peliharaan Dewi
Ciptoroso. Pada malam hari lutung tersebut berubah wujud menjadi Raden
Kamandaka. Sehingga hanya Dewi Ciptoroso yang tahu tentang hal tersebut. Pada
siang hari ia berubah menjadi lutung lagi. Maka keadaan Dewi kini menjadi
sangat gembira dan bahagia, yang selalu ditemani lutung kasarung.
Alkisah pada suatu hari raden dari Nusa Kambangan Prabu Pule Bahas
menyuruh Patihnya untuk meminang Putri Bungsu Kadipaten Pasir Luhur Dewi
Ciptoroso dan mengancam apabila pinangannya ditolak ia akan menghancurkan
Kadipaten Pasir Luhur.
Atas saran dan permintaan dari Lutung Kasarung pinangan Raja Pule
Bahas agar supaya diterima saja. Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh raja Pule Bahas. Salah satunya ialah dalam pertemuan pengantin nanti
Lutung Kasarung harus turut mendampingi Dewi Ciporoso.
Pada waktu pertemuan pengantin berlangsung, Raja Pule Bahas selalu
diganggu oleh Lutung Kasarung yang selalu mendampingi Dewi Ciptoroso. Oleh
sebab itu Raja Pule Bahas marah dan memukul Lutung Kasarung. Namun Lutung
Kasarung telah siap berkelahi melawan Raja Pule Bahas.
Pertarungan Raja Pule Bahas dengan Lutung Kasarung terjadi sangat
seru. Namun karena kesaktian dari Luung Kasarung, akhirnya Raja Pule Bahas
gugur dicekik dan digigit oleh Lutung Kasarung.
Tatkala Raja Pule Bahas gugur maka Lutung Kasarung pun langsung menjelma
menjadi Raden Kamandaka, dan langsung mengenkan pakaian kebesaran Kerajaan
Pajajaran dan mengaku namanya Banyak Cotro. Kini Adipatih Pasir Luhur pun
mengetahui hal yang sebenarnya adalah Raden Kamandaka dan Raden Kamandaka
adalah Banyak Cotro dan Banyak Cotro adalah Lutung Kasarung putra mahkota dari
kerajaan Pajajaran. Dan akhirnya ia dikawinkan dengan Dewi Ciptoroso.
Namun karena Raden Kamandaka sudah cacat pada waktu adu ayam dengan
Silihwarni kena keris Kujang Pamungkas maka Raden Kamandaka tidak dapat
menggantikan menjadi raja di Pajajaran.
Karena tradisi kerajaan Pajajaran, bahwa putra mahkota yang akan
menggantikan menjadi raja tidak boleh cacat karena pusaka Kujang Pamungkas.
Sehingga setelah ia dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso, Raden Kamandaka hanya
dapat menjadi Adipatih di Pasir Luhur Menggantikan mertuanya. Sedangkan yang
menjadi Raja di Pajajaran adalah Banyak Blabur.
Pada jaman dahulu di daerah jawa barat ada seorang lelaki yang sangat kaya. Seluruh sawah dan lading di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa hanya menjadi buruh tani penggarap sawah dan lading lelaki kaya itu. Orang kaya itu oleh penduduk desa dijuluki Pak Kikir karena memang dia adalah orang yang sangat kikir. Kekikirnya Pak kikr tidak pandang bulu, sampai-sampai terhadap anak lelaki satu-satunya pun dia juga sangat pelit.
Untunglah sifat kikir itu tidak menular pada anak lelakinya itu. Anak Pak Kikir itu berwatak baik. Tanpa sepengetahuan ayahnya, sering dia membantu tetangganya yang kesusahan.
Menurut anggapan dan kepercayaan masyarakat desa itu, jika menginginkan hasil panen yang baik dan melimpah maka harus diadakan pesta syukuran denga baik pula. Takut jika panen berikutnya gagal, maka Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta syukuran dan selamatan semua warga desa diundang oleh Pak Kikir. Penduduk desa mengira akan mendapatkan makanan yang enak dan lezat dalam selamatan itu. Perkiraan itu meleset, ternyata Pak Kikir hanya menyediakan hidangan ala kadarnya, itupun tidak cukup untuk menjamu seluruh orang yang diundang. Banyakdinatara undangan yang tidak mendapat makanan. Mereka akhirnya hanya dapat mengelus dada atas sikap Pak Kikir yang lagi-lagi terbukti kikir.
” huh!! Sudah berani mengundang orang ternyata tidak dapat menyediakana makanan, sungguh keterlaluan, buat apa hartanya yang segudang itu”
”Tuhan tidak akana memberikan berkah pada jartanya yang banyak itu”
Demikianlah pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan yang diadakan Pak Kikir.
Pada saat pesta selamatan sedang berlangsung, yiba-tiba datanglah seorang nenek tua renta yang meminta sedekah pda Pak Kikir.
”Tuan... berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi…”rintih nenek tua itu
”Apa sedekah? Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah hah...?
”Berilah saya sedikit saja dari harta tuan yang berlimpah ruah itu......??”
”Tidak! Cepat pergi dari sini, kalau tidak aku akan suruh tukung pukulku untuk meghajarmu!!”
Nenek itu nampak mengeluarkan air mata.
Demikianlah nenek tua itu tidak mendapat sedekah tetapi malah diusir sevcara kasar oleh Pak Kikir. Dia segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir.
Melihat kejadian itu putera Pak Kikir sangat sedih. Diam-diam dia mengambil jatah makan siangnya, lalu dikejarnya nenek yang sudah sampai di ujung desanya itu, diberikannya makanan itu kepada si nenek.
Nenek itu merasa sangat bergembira ” sengguh baik engkau nak, semoga kelak hidupmu menjadi mulia”
Setelah si anak muda itu pergi, si nenek melanjutkan perjalanannya. Sampailah dia di sebuah bukit dekat desa, dia berhenti sejenak. dilihatnya rumah milik Pak Kikir yang palling besar dan megah di desa itu. Sementara penduduk sekelilingnya menderita katrena ketamakan Pak Kikir.
Karena melihat kelakukan Pak Kikir itu, si nenek marah dan berkata ” ingat-ingatlah Pak Kikir, keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkan dirimu sendiri. Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu”
Nenek itu lalu menancapkan tongkatnya di tanah, lalu dicabutnya lagi. Dari lubang tancapan itu memancar air yang sangat deras. Makin lama air itu makin besar dan menuju ke desa.
“Banjir!” “Banjirrr!!!!!” teriak orang-orang desa yang mulai panic melihat datangnya air bah dari lembah itu.
Anak Pak Kikir segera menganjurkan orang-orang agar segera meninggalkan desa dan lari ke atas bukit.
“cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman”
“Tapi sawah dan ternak kita bagaimana?”
“Kalian pilih harta atau jiwa? Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta lagi”
Anak Pak Kikir yang bijak itu terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa. Ia juga membujuk ayahnya agar segera keluar rumah.
”ayah cepat tingga;lkan rumah ini, kita harus segera keluar menyelamatkan diri”
”Apa? Lari begitu saja. Tolol!! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusimpan di dalam tanan dulu”
Karena tidak ada waktu anak Pak Kikir segera berlari menyelamatka diri, sementara Pak Kikir terus mengumpulkan harta bendanya. Dia terlambat menyelamatkna diri, akhirnya tenggelam dalam arus air bah.
Sebagian besar penduduk desa termasuk putera Pak Kikir selamat. Mereka sedih melihat desanya tenggelam. Kemudian mereka memutuskan untuk mencari daerah baru. Mereka mengangkat anak Pak Kikir sebagai pemimpin desa mereka yang baru.
Putera Pak Kikir lalu menganjurkan penduduk untuk mengolah tanah yang telah dibagi rata. Pimpinan desa baru itu mengajari penduduk menanam padi dan bagaimana mengairi sawah secara baik. Desa itu kemudian disebut desa Anjuran, penduduk desa selalu mematuhi anjuran pimpinannnya.
Lama kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam mengolah sawah, maka sampai sekarang ini bersa Cianjur dikenal sangat enak dan gurih.
Putri Kandita adalah putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran, Bogor, Jawa Barat. Selain parasnya yang cantik, ia juga memiliki sifat arif dan bijaksana. Itulah sebabnya, ia sangat disayang oleh ayahnya dan dicalonkan sebagai penerus tahta kerajaan. Rupanya, perlakuan Prabu Siliwangi terhadap Putri Kandita tersebut menimbulkan kecemburuan dari para selir dan putra-putri sang Prabu yang lain. Mereka kemudian bersekongkol untuk menyingkirkan Putri Kandita dan ibunya dari istana Pakuan Pajajaran. Bagaimanakah nasib Putri Kandita selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri kandita berikut ini!
Alkisah, di daerah Pakwan (kini Kota Bogor), Jawa Barat, tersebutlah seorang raja bernama Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi yang bertahta di Kerajaan Pakuan Pajajaran. Ia adalah raja yang arif dan bijaksana. Sang Prabu juga mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita dan beberapa selir yang cantik-cantik. Dari hasil perkawinannya dengan sang permaisuri lahir seorang putri yang bernama Putri Kandita.
Putri Kandita memiliki paras yang cantik melebihi kecantikan ibunya. Ia merupakan putri kesayangan Prabu Siliwangi. Ketika ia mulai dewasa, sifat arif dan bijaksana seperti yang dimiliki oleh sang ayah mulai muncul pada dirinya. Tidak mengherankan jika Prabu Siliwangi bermaksud mencalonkan Putri Kandita sebagai penggantinya kelak. Namun, rencana tersebut ternyata tidak disukai oleh para selir dan putra-putrinya yang lain. Oleh karena itu, mereka pun bersekongkol untuk mengusir Putri Kandita dan ibunya dari istana.
Suatu malam, para selir Prabu Siliwangi dan putra-putri mereka mengadakan pertemuan rahasia di dalam istana.
"Bagaimana cara menyingkirkan Putri Kandita dan permaisuri dari istana ini tanpa sepengetahuan Prabu ?" tanya salah seorang selir.
"Kita harus berhati-hati karena jika Prabu mengetahui rencana ini, maka kita semua akan binasa,ujar selir yang lain."
Sejenak, suasana pertemuan itu menjadi hening. Semuanya sedang berpikir keras untuk mencari cara yang paling tepat agar rencana mereka dapat terlaksana tanpa sepengetahuan Prabu Siliwangi.
"Sekarang aku tahu caranya" sahut seorang selir yang lain memecah suasana keheningan.
"Apakah caramu itu?" tanya semua peserta rapat serentak.
"Aku mempunyai kenalan seorang dukun yang terkenal dengan kesaktian ilmu hitamnya. Dukun itu pasti mau membantu kita jika kita memberinya upah yang besar," jawab selir itu.
Semua peserta rapat setuju dengan cara tersebut. Pada esok hari,
para selir mengutus seorang dayang-dayang istana untuk menemui dukun itu di
gubuknya di sebuah desa yang letaknya cukup jauh dari istana. Setelah
menjelaskan maksud kedatangannya, utusan itu kemudian menyerahkan sejumlah
keping uang logam emas kepada sang dukun. Tanpa berpikir panjang, sang dukum
pun langsung menyanggupi permintaan para selir tersebut.
Setelah utusan selir itu kembali ke istana, sang dukun segera melaksanakan tugasnya. Dengan ilmu yang hitam dimiliki, dukun itu menyihir Putri Kandita dan ibunya dengan penyakit kusta sehingga sekujur tubuh mereka yang semula mulus dan bersih, timbul luka borok dan mengeluarkan bau tidak sedap. Prabu Siliwangi heran melihat penyakit borok itu tiba-tiba menyerang putri dan permaisurinya secara bersamaan. Ia pun segera mengundang para tabib untuk mengobati penyakit tersebut.
Para tabib dari berbagai negeri sudah didatangkan, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkan penyakit Putri Kandita dan sang permaisuri. Bahkan, penyakit sang permaisuri semakin hari semakin parah dan menyebabkan bau busuk yang sangat menyengat. Tubuhnya pun semakin lemah karena tidak mau makan dan minum. Selang beberapa hari kemudian, sang permaisuri menghembuskan nafas terakhirnya.
Kepergian sang permaisuri benar-benar meninggalkan luka yang sangat dalam bagi seluruh isi istana, khususnya Prabu Siliwangi. Sejak itu, ia selalu duduk termenung seorang diri. Satu-satunya harapan yang dapat mengobati kesedihannya adalah Putri Kandita. Namun harapan itu hanya tinggal harapan karena penyakit sang putri tak kunjung sembuh. Keadaan itu pun tidak disia-siakan oleh para selir dan putra-putrinya. Mereka bersepakat untuk menghasud Prabu Siliwangi agar segera mengusir Putri Kandita dari istana.
"Ampun, Baginda Prabu! Izinkanlah Hamba untuk menyampaikan sebuah saran kepada Baginda," pinta seorang selir.
"Apakah saranmu itu, wahai selirku? Katakanlah," jawab Prabu Siliwangi.
"Begini Baginda. Kita semua sudah tahu bahwa keadaan penyakit Putri Kandita saat ini semakin parah dan sulit untuk disembuhkan. Jika sang putri dibiarkan terus tinggal di istana, Hamba khawatir penyakitnya akan membawa malapetaka bagi negeri ini," hasud seorang selir.
Mulanya, Prabu Siliwangi merasa berat untuk menerima saran itu karena begitu sayangnya kepada Putri Kandita. Namun karena para selir terus mendesaknya, maka dengan berat hati ia terpaksa mengusir Putri Kandita dari istana. Dengan hati hancur, Putri Kandita pun meninggalkan istana melalui pintu belakang istana. Ia berjalan menuruti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan yang pasti. Setelah berhari-hari berjalan, Putri Kandita tiba di pantai selatan. putri Prabu Siliwingi yang malang itu bingung harus berjalan ke mana lagi. Di hadapannya terbentang samudera yang luas dan dalam. Tidak mungkin pula ia kembali ke istana.
"Ah, aku letih sekali. Lebih baik aku beristirahat dulu di sini," keluh Putri Kandita seraya merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu karang.
Sang Putri tampak begitu kelelahan sehingga dalam beberapa saat saja ia langsung tertidur. Dalam tidurnya, ia mendengar sebuah suara yang menegurnya.
"Wahai, Putri Kandita! Jika kamu ingin sembuh dari penyakitmu, berceburlah ke dalam lautan ini! Niscaya kulitmu akan pulih seperti sediakala," ujar suara itu.
Putri Kandita pun cepat-cepat bangun setelah mendengar suara itu.
"Apakah aku bermimpi?" gumamnya sambil mengusap-usap matanya tiga kali.
Setelah itu, sang Putri mengamati sekelilingnya, namun tak seorang pun dilihatnya.
"Aku mendengar suara itu dengan sangat jelas. Tetapi kenapa tidak ada orang yang di sekitar sini? Wah, jangan-jangan ini wangsit." pikirnya.
Meyakini suara itu sebagai sebuah wangsit, Putri Kandita pun menceburkan diri ke laut. Sungguh ajaib! Saat menyentuh air, seluruh tubuhnya yang dihinggapi penyakit kusta berangsur-angsur hilang hingga akhirnya kembali menjadi halus dan bersih seperti sediakala. Tidak hanya itu, putri kesayangan Prabu Siliwangi itu juga menjadi putri yang sakti mandraguna.
Meskipun telah sembuh dari penyakitnya, Putri Kandita enggan untuk kembali ke istana. Ia lebih memilih untuk menetap di pantai sebelah selatan wilayah Pakuan Pajajaran itu. Sejak menetap di sana, ia dikenal luas ke berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai putri yang cantik dan sakti. Para Pangeran dari berbagai kerajaan berdatangan untuk melamarnya. Menghadapi para pelamar tersebut, Putri Kandita mengajukan sebuah syarat yaitu dirinya bersedia dipersunting asalkan mereka sanggup mengalahkan kesaktiannya, terasuk bertempur di atas gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Namun, jika kalah adu kesaktian itu, maka mereka harus menjadi pengikut Putri Kandita.
Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan Putri Kandita, tak seorang pun dari mereka yang mampu mengalahkan kesaktian sang Putri. Dengan demikian, para pelamar tersebut akhirnya menjadi pengikut Putri Kandita. Sejak itulah, Putri Kandita dikenal sebagai Ratu Penguasa Laut Selatan Pulau Jawa.
Demikian cerita Putri Kandita dari daerah Bogor, Jawa Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang teraniaya seperti Putri Kandita akan ditolong oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Putri Kandita sebagai korban penganiayaan para selir Prabu Siliwangi dapat sembuh dari penyakit kusta berkat pertolongan Tuhan melalui wangsit yang diterimanya.
Pesan moral lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang memiliki sifat iri hati dan dengki seperti para selir dapat melakukan kejahatan apa saja demi mencapai cita-citanya. Para selir tega mengusir Putri Kandita dari istana karena merasa iri terhadap sang Puri sebagai calon penerus tahta Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Setelah utusan selir itu kembali ke istana, sang dukun segera melaksanakan tugasnya. Dengan ilmu yang hitam dimiliki, dukun itu menyihir Putri Kandita dan ibunya dengan penyakit kusta sehingga sekujur tubuh mereka yang semula mulus dan bersih, timbul luka borok dan mengeluarkan bau tidak sedap. Prabu Siliwangi heran melihat penyakit borok itu tiba-tiba menyerang putri dan permaisurinya secara bersamaan. Ia pun segera mengundang para tabib untuk mengobati penyakit tersebut.
Para tabib dari berbagai negeri sudah didatangkan, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkan penyakit Putri Kandita dan sang permaisuri. Bahkan, penyakit sang permaisuri semakin hari semakin parah dan menyebabkan bau busuk yang sangat menyengat. Tubuhnya pun semakin lemah karena tidak mau makan dan minum. Selang beberapa hari kemudian, sang permaisuri menghembuskan nafas terakhirnya.
Kepergian sang permaisuri benar-benar meninggalkan luka yang sangat dalam bagi seluruh isi istana, khususnya Prabu Siliwangi. Sejak itu, ia selalu duduk termenung seorang diri. Satu-satunya harapan yang dapat mengobati kesedihannya adalah Putri Kandita. Namun harapan itu hanya tinggal harapan karena penyakit sang putri tak kunjung sembuh. Keadaan itu pun tidak disia-siakan oleh para selir dan putra-putrinya. Mereka bersepakat untuk menghasud Prabu Siliwangi agar segera mengusir Putri Kandita dari istana.
"Ampun, Baginda Prabu! Izinkanlah Hamba untuk menyampaikan sebuah saran kepada Baginda," pinta seorang selir.
"Apakah saranmu itu, wahai selirku? Katakanlah," jawab Prabu Siliwangi.
"Begini Baginda. Kita semua sudah tahu bahwa keadaan penyakit Putri Kandita saat ini semakin parah dan sulit untuk disembuhkan. Jika sang putri dibiarkan terus tinggal di istana, Hamba khawatir penyakitnya akan membawa malapetaka bagi negeri ini," hasud seorang selir.
Mulanya, Prabu Siliwangi merasa berat untuk menerima saran itu karena begitu sayangnya kepada Putri Kandita. Namun karena para selir terus mendesaknya, maka dengan berat hati ia terpaksa mengusir Putri Kandita dari istana. Dengan hati hancur, Putri Kandita pun meninggalkan istana melalui pintu belakang istana. Ia berjalan menuruti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan yang pasti. Setelah berhari-hari berjalan, Putri Kandita tiba di pantai selatan. putri Prabu Siliwingi yang malang itu bingung harus berjalan ke mana lagi. Di hadapannya terbentang samudera yang luas dan dalam. Tidak mungkin pula ia kembali ke istana.
"Ah, aku letih sekali. Lebih baik aku beristirahat dulu di sini," keluh Putri Kandita seraya merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu karang.
Sang Putri tampak begitu kelelahan sehingga dalam beberapa saat saja ia langsung tertidur. Dalam tidurnya, ia mendengar sebuah suara yang menegurnya.
"Wahai, Putri Kandita! Jika kamu ingin sembuh dari penyakitmu, berceburlah ke dalam lautan ini! Niscaya kulitmu akan pulih seperti sediakala," ujar suara itu.
Putri Kandita pun cepat-cepat bangun setelah mendengar suara itu.
"Apakah aku bermimpi?" gumamnya sambil mengusap-usap matanya tiga kali.
Setelah itu, sang Putri mengamati sekelilingnya, namun tak seorang pun dilihatnya.
"Aku mendengar suara itu dengan sangat jelas. Tetapi kenapa tidak ada orang yang di sekitar sini? Wah, jangan-jangan ini wangsit." pikirnya.
Meyakini suara itu sebagai sebuah wangsit, Putri Kandita pun menceburkan diri ke laut. Sungguh ajaib! Saat menyentuh air, seluruh tubuhnya yang dihinggapi penyakit kusta berangsur-angsur hilang hingga akhirnya kembali menjadi halus dan bersih seperti sediakala. Tidak hanya itu, putri kesayangan Prabu Siliwangi itu juga menjadi putri yang sakti mandraguna.
Meskipun telah sembuh dari penyakitnya, Putri Kandita enggan untuk kembali ke istana. Ia lebih memilih untuk menetap di pantai sebelah selatan wilayah Pakuan Pajajaran itu. Sejak menetap di sana, ia dikenal luas ke berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai putri yang cantik dan sakti. Para Pangeran dari berbagai kerajaan berdatangan untuk melamarnya. Menghadapi para pelamar tersebut, Putri Kandita mengajukan sebuah syarat yaitu dirinya bersedia dipersunting asalkan mereka sanggup mengalahkan kesaktiannya, terasuk bertempur di atas gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Namun, jika kalah adu kesaktian itu, maka mereka harus menjadi pengikut Putri Kandita.
Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan Putri Kandita, tak seorang pun dari mereka yang mampu mengalahkan kesaktian sang Putri. Dengan demikian, para pelamar tersebut akhirnya menjadi pengikut Putri Kandita. Sejak itulah, Putri Kandita dikenal sebagai Ratu Penguasa Laut Selatan Pulau Jawa.
Demikian cerita Putri Kandita dari daerah Bogor, Jawa Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang teraniaya seperti Putri Kandita akan ditolong oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Putri Kandita sebagai korban penganiayaan para selir Prabu Siliwangi dapat sembuh dari penyakit kusta berkat pertolongan Tuhan melalui wangsit yang diterimanya.
Pesan moral lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang memiliki sifat iri hati dan dengki seperti para selir dapat melakukan kejahatan apa saja demi mencapai cita-citanya. Para selir tega mengusir Putri Kandita dari istana karena merasa iri terhadap sang Puri sebagai calon penerus tahta Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat. Negeri itu
dipimpin oleh seorang raja. Prabu, begitulah orang memanggilnya. Ia adalah raja
yang baik dan bijaksana. Tak heran, kalau negeri itu makmur dan tenteram. Tak
ada penduduk yang lapar di negeri itu.
Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. "Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat," sahut mereka.
Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.
Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya.. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.
Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri. Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.
Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.
Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.
Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.
Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. "Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku," kata Prabu. "Dengan senang hati, Yang Mulia," sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.
Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.
Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. "Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak," kata Prabu.
Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. "Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!" seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.
Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba terdengar tangisan Ratu. Tangisannya diikuti oleh semua orang.
Tiba-tiba muncul mata air dari halaman istana. Mula-mula membentuk kolam kecil. Lalu istana mulai banjir. Istana pun dipenuhi air bagai danau. Lalu danau itu makin besar dan menenggelamkan istana.
Sekarang, danau itu disebut Talaga Warna. Danau itu berada di daerah puncak. Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.
Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. "Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat," sahut mereka.
Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.
Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya.. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.
Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri. Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.
Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.
Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.
Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.
Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. "Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku," kata Prabu. "Dengan senang hati, Yang Mulia," sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.
Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.
Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. "Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak," kata Prabu.
Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. "Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!" seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.
Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba terdengar tangisan Ratu. Tangisannya diikuti oleh semua orang.
Tiba-tiba muncul mata air dari halaman istana. Mula-mula membentuk kolam kecil. Lalu istana mulai banjir. Istana pun dipenuhi air bagai danau. Lalu danau itu makin besar dan menenggelamkan istana.
Sekarang, danau itu disebut Talaga Warna. Danau itu berada di daerah puncak. Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.
Di tengah kehidupan masyarakat Purwagaluh yang hanya menggantungkan sumber makanan dari hasil buruan, kehidupan berubah menjadi neraka ketika hutan tak lagi menyediakan binatang untuk diburu.
Tanah kering kerontang dan sungai tidak lagi menyisakan air yang memberi kehidupan pada hewan dan tumbuhan. Purwagaluh adalah satu wilayah yang tengah mengalami bencana kekeringan terparah.
Sadana, Adikara, dan Dewi Sri, tiga orang yang ditugaskan mencari jalan keluar untuk membebaskan warga dari kesulitan dan memperbaiki kehidupan Purwagaluh secara keseluruhan. Namun dalam perjalanan tugas yang pertama pun mereka sudah menemukan kesulitan yang datang dari musuh bebuyutan mereka sejak kecil.
Demi mendapatkan Adikara yang dicintainya sejak kecil, Nuridami tak pernah berhenti mengejar dan menghalalkan segala cara dengan memanfaatkan kesaktian sang nenek, Nyi Ulo juga kakaknya Sapigumarang dan Singasatru.
Dalam satu pertarungan, Dewi Sri yang menyamar menjadi Camar Seta berhasil membunuh Singasatru yang saat itu memimpin kelompok Bajak Lautnya menyerang Pelabuhan Atasangin, pulau yang paling maju dan makmur kala itu dan menjadi tempat Dewi Sri, Sadana dan Adikara mempelajari sebab kemajuan Atasangin untuk diterapkan di Purwagaluh.
Sapigumarang sangat murka mengetahui kabar kematian adiknya, Singasatru di Atasangin oleh Camar Seta. Segera ia mendatangi Sadana untuk membalas dendam pada Camar Seta. Namun Nyi Ulo menahannya dengan alasan Singasatru yang jauh lebih saktipun berhasil dikalahkan Camar Seta.
Akhirnya Sapigumarang mau berlatih secara khusus bersama Nyi Ulo untuk menyempurnakan ilmu Lebursaketinya. Dari situlah Sapigumarang kemudian menyadari sumber kekuatannya yang besar, yaitu amarah yang bisa melipat gandakan kekuatannya hingga mampu menguasai Lebursaketi dengan sempurna.
Segera setelah itu Sapigumarang mendatangi Sadana untuk membunuh Camar Seta, Sadana beralih tidak mengenal Camar Seta. Sapigumarang tak mau percaya dan menyangka Camar Seta adalah Adikara yang memakai nama palsu.
Sadana yang berniat membantu dihajarnya hingga pingsan dan Adikara dibawa pergi setelah tidak berdaya karena Nuridami merayu Sapigumarang untuk tidak membunuhnya.
Dewi Sri sangat sedih mengetahui kekasihnya, Adikara ditawan oleh Sapigumarang. Namun berkat kesaktian Malihwarni yang diajarkan oleh kakeknya, Aki Tirem, Dewi Sri bisa merubah dirinya menjadi seekor harimau jadi sangat frustasi dan akhirnya bunuh diri.
Sapigumarang jadi murka dan gelap mata setelah Budugbasu dan Kalabuat menghasutnya dan menuduh Dewi Sri yang telah membunuh Nuridami karena cemburu. Sapigumarang langsung menyusun kekuatan untuk membunuh Dewi Sri sekaligus menguasai Purwagaluh yang saat itu sudah berubah menjadi wilayah yang sangat makmur berkat Dewi Sri, Sadana dan Adikara yang berhasil menciptakan sawah padi di sana.
Dan ketika Dewi Sri dan Adikara merayakan panen padi pertama bersama warga di Desa Cidamar, pasukan Sapigumarang yang dipimpin Budugbasu datang untuk merebut semua hasil panen dan menangkap Dewi Sri. Namun Dewi Sri yang sudah sangat sakti berhasil mengalahkan Budugbasu dan semua pasukannya.
Sapigumarang tidak menyerah, ia menunjuk Kalabuat untuk menggantikan Budugbasu dan memimpin pasukan yang lebih banyak. Kalabuat yang licik bersiasat untuk menyerang malam hari dengan kekuatan penuh. Saat itu Dewi Sri dan Adikara hanya berjaga - jaga dengan pemuda dan warga yang jumlahnya sangat sedikit karena banyak diantara warga Cidamar yang terbunuh pada peperangan melawan Budugbasu.
Kalabuat dan pasukannya yang besar datang dengan penuh percaya diri. Ketika mengepung sawah, tempat Dewi Sri memfokuskan penjagaan. Dewi Sri dan Adikara tak mau menyerah begitu saja, mereka melawan semua pasukan Kalabuat dengan sepenuh tenaga. Saat itu Budugbasu yang sangat dendam keluar dengan pasukannya karena ingin Dewi Sri dan Adikara hanya mati di tangannya.
Kalabuat sempat marah karena Bubugbasu hanya memimpin pasukan bantuan dan seharusnya belum boleh keluar. Tapi Budugbasu tak peduli dan segera menyerang Dewi Sri untuk membunuhnya.Dewi Sri dan Adikara sangat terdesak menghadapi jumlah pasukan yang semakin banyak. Saat itulah Dewi Sri mengeluarkan ajian Malihwarninya dan merubah dirinya menjadi ratusan kelelawar besar yang sangat buas.
Pasukan Kalabuat dan Budugbasu kalang kabut menghadapi serangan ratusan kelelawar, mereka semua terbunuh dan hanya sedikit yang berhasil melarikan diri. Sementara Kalabuat dan Budugbasu pun tak luput dari serangan kelelawar. Mereka pun kemudian melarikan diri dengan wajah dan bukan yang penuh luka gigitan.
Sapigumarang sangat murka mengetahui Kalabuat dan Budugbasu kembali kalah oleh Dewi Sri, terlebih lagi semua pasukannya yang habis terbunuh. Ia dengan murka menghajar Kalabuat dan Budugbasu. Kalabuat membela diri dan menyalahkan Budugbasu yang membawa keluar pasukan bantuannya hingga akhirnya semua pasukan habis terbunuh.
Budugbasu tak mau kalah, ia menyalahkan Kalabuat yang bersiasat menyerang malam hari hingga mereka diserang kelelawar ganas ciptaan sihir Dewi Sri.
Mengetahui Dewi Sri yang menguasai sihir Sapigumarang segera meminta bantuan Nyi Ulo untuk menghadapi Dewi Sri. Namun Dewi Sri dengan cerdik mengalahkan semua sihir dari Nyi Ulo yang menyerangnya, bahkan Nyio Ulo pun tewas oleh serangan balik dari Dewi Sri.
Sapigumarang murka dan menantang Dewi Sri untuk adu tanding dengannya. Dewi Sri melayani tantangan Sapigumarang dan bertarung dengan tangan kosong. Sapigumarang yakin mampu membunuh Dewi Sri dengan kekuatan penuh Lebursaketinya. Namun Dewi Sri yang sudah bersiap dengan ajian Sungsangbuana berhasil mengembalikan pukulan dahsyat Lebursaketi.
Sapigumarang pun tewas oleh ajian Lebursaketinya sendiri. Mengetahui kenyataan itu Kalabuat dan Budugbasu tak bisa berbuat apa-apa. Merekapun menyerah ketika pasukan Sadana tiba-tiba datang meringkusnya.
Semua warga dan pasukan bergembira menyambut kemenangan Dewi Sri. Mereka semua mengelu-elukan nama Dewi Sri dan menjulukinya sebagai Dewi Padi karena jasa terbesarnya yang telah menciptakan tanaman padi diseluruh wilayah Purwagaluh.
Nyai Anteh Sang Penunggu Bulan
Nyi Anteh Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan
bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki
panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan
raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita
dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu
lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya
kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah
calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang
dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal
saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri
Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak
remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.
“Kau jangan memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua denganku,”
kata putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli satatusmu yang
hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai
kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu akan aku
hukum!”
“Baik Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh.
“Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.
“Ah, iri kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat
orang lain iri,” kata Anteh heran.
“Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu
seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil
tersenyum.
“Ha ha ha.. kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini
dibilang cantik. Yang cantik tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran dari
kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat kakak. Iya kan kak?”
jawab Anteh dengan semangat.
“Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang
cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.
“Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh.
“Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau
begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju
pengantinku?” seru putri.
“Aduh mana berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak. Kalau
jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.
“Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa… jadi baju
pengantin pun pasti bisa,” kata putri tegas.
Suatu malam ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke
kamarnya. “Endah putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata ratu.
“Ya ibu,” jawab putri.
“Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu
menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan
keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi
ratu.”
“Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.
“ya nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa
calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati dari
kadipaten wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan.
Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu adalah
menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa
padanya.”
“Baik gusti ratu,” jawab Anteh.
Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk
menemaninya. “Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih.
“Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal.
Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?”
“Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin
gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda
mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak
tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”
Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk
menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang
bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan
gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana.
Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman istana.
Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu adalah
Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan
mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah
olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya
bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon istriku?”
batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika
tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.
“Siapa tuan?” tanya Anteh.
“Aku Anantakusuma. Apakah kau…..” Belum sempat Anantakusuma
bertanya seseorang memanggil Anteh. “Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata
seorang dayang.
“Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata Anteh
yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma.
“Dia ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh
cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.”
Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain
daripada biasanya. Hari ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya,
Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu
tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon
suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang
terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang
akan dinikahinya.
Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya
masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.
“Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan
hormat.
“Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja kepada
para tamunya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.
Setelah perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya, Anteh
menemui sang putri.
“Bagaimana kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami kakak?
Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh. Hati putri Endahwarni terasa
terbakar mendengar kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma
memandang Anteh dengan penuh cinta.
“Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak
mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri Endahwarni.
“A..apa kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah begitu?”
tanya Anteh kaget.
“Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak mau
kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau
harus pergi dari sini hari ini juga!”
“Tapi kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis
Anteh.
“Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau
Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena
dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar
Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata putri.
“Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh saya
tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan permohonan
maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.”
Anteh beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju kamarnya
lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk
menjaga putri Endahwarni dengan baik.
Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang
harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung
halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu beberapa dayang
senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di
kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa
yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur
menegurnya.
“Maaf nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.
“Iya paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.
“Oh maaf bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku
pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,”
“Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di istana
sebagai dayang?” tanya Anteh.
“Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu.
“Betul paman!” jawab Anteh.
“Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu Waru,
adik ibumu,” kata paman Waru dengan mata berkaca-kaca.
“Benarkah? Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata
Anteh dengan gembira.
“Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya
paman Waru.
“Ceritanya panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk
tinggal di rumah paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.
“Tentu saja nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di
rumahku. Ayo kita pergi!” kata paman Waru.
Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk
membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh
menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus,
orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh.
Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.
Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan
memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta
kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta
kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri
Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk
Anteh.
“Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ni?
Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti
hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal
kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis putri.
“Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah
membuatmu gusar,” kata Anteh.
“Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut
denganku kembali ke istana!” pinta putri.
“Tapi putri aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja
sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh.
“Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,”
kata putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai
penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”
Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni
telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun
Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma,
suami putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan
gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit
kembali. Mulanya pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak
memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora.
Hingga suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman
istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh
sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing
kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah
berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat
pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.
“Anteh!” tegurnya. Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran
Antakusuma berdiri di hadapannya.
“Pa..pangeran? kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang
yang melihat?” tanya Anteh ketakutan.
“Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh tahukah
kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini,
aku tetap mencintaimu,” kata pangeran.
“Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami
putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya,
itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat.
“Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi
milikku Anteh! Kemarilah biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil berusaha
memegang tangan Anteh.
Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak boleh
mengkhianati Gusti putri.”
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.
Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran
Anantakusuma tetap mengejarnya. “Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh,
“Berilah hamba kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu
dia sangat sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti
hamba dan kakak hamba!”
Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas.
Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya.
Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang
semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang
tertutup awan.
Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan hanya
ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut
pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya sudah
tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang
tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika
bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani
Candramawat. Begitulah kisah Nyai Anteh sang penunggu bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar