MAKALAH
SEJARAH KERAJAAN
TALAGA MANGGUNG
Diajukan Untuk Memenuhi Salah
Satu Tugas Mata Pelajaran
SEJARAH INDONESIA
Disusun Oleh :
·
………………………….
·
………………………….
·
………………………….
·
………………………….
Kelas :
TAHUN AJARAN
2016 / 2017
SEJARAH KERAJAAN
TALAGA MANGGUNG
Nun
jauh di lereng Gunung Ciremay sebelah selatan, di sekitar Desa Sangiang
Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka, berdiri satu Negara yang disebut dengan
Kerajaan Kerajaan Talaga. Yang pertama-tama mendirikan dan mengolah Negara
tersebut yaitu Batara Gunung Picung, putera keenam Ratu Galuh Ajar Sukaresi
atau disebut juga Maharaja Sakti Adimulya (1252 – 1287 M).
Adapun Ratu Galuh
Ajar Sukaresi sendiri mempunyai delapan putera/puteri dari isteri beliau yang berlain-lainan.
Nama-nama mereka itu adalah:
- Prabu Hariangbanga: Menurunkan para raja di daerah Jawa Timur, seperti Prabu Brawijaya II sampai Prabu Brawijaya V;
- Maharajasakti: Menurunkan para raja di tanah Pajawan;
- Prabu Ciungwanara (1287 – 1303 M): Menurunkan para raja di Pakuan dan Pajajaran;
- Ratu Ragedangan;
- Prabu Haurkuning, Maharaja Ciptapermana I (1580 – 1595 M);
- Batara Gunung Picung (1595 – 1618); Menurunkan Raja-Raja Talaga;
- Ratu Permana Dewa; dan
- Bleg Tamblek Raja Kuningan.
Adapun
Batara Gunung Picung (Ciptaperman II) beliaulah yang menjadi Raja pertama di
Talaga (Talagamanggung), dari beliau itu pula menurunkan:
- Sunan Cungkilak;
- Sunan Benda;
- Sunan Gombang;
- Ratu Ponggang Sang Romahiyang; dan
- Prabu Darmasuci I.
Prabu
Darmasuci I mempunyai dua orang putera yang akan melanjutkan silsilah Kerajaan
Talaga pada masa berikutnya, dua orang putera beliau itu adalah:
1.
Bagawan Garasiang; dan
2.
Prabu Darmasuci I (Prabu Talagamanggung).
Bagawan Garasiang
Putera sulung Prabu
Darmasuci I adalah Begawan Garasiang, beliau adalah orang yang gemar bertapa
dan merenung sehingga beliau menjadi seorang Begawan Hindu Kahiyangan. Ia
mendirikan padepokan di satu gunung kecil yang disebut Pasir Garasiang,
terletak di daerah perbatasan antara Kecamatan Argapura dan Talaga sekarang.
Beliau mempunyai puteri yang bernama Ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian
diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putera Prabu Siliwangi II (Raden
Pamanah Rasa)[2] dari Pajajaran.
Kalau kita
perhatikan, dengan adanya pernikahan Putri Talaga dan Putra Pajajaran, ini
adalah hukum yang tidak tertulis akan tetapi menjadi ciri khas langkah
strategis dan politis raja-raja Pasundan untuk mempertahankan keutuhan Negara
dan ikatan kekeluargaan melaui jalan pernikahan di antara para penguasa wilayah
Pasundan. Dengan memperhatikan asfek-asfek penting inilah sikap silih asih,
silih asah, silih asuh akan terekat kuat.
Prabu
Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bersemayam di Talaga, keraton beliau
terletak di Sangiang, dengan panorama situ keraton yang indah yang disebut Situ
Sangiang. Menurut catur para sepuh Talagamanggung adalah seorang Narpati yang
sakti mandraguna dan weduk (tidak tembus senjata). Beliau mempunyai sebuah
senjata pusaka yang diberi nama "cis", bentuknya seperti tombak kecil
atau sekin. Konon, bahwa beliau ketika lahir tidak memiliki pusar seperti
halnya orang pada umumnya. Menurut ceritera pula Prabu Talagamanggung hanya
mempan ditembus senjata oleh senjata CIS-nya itu.
Pada masa
pemerintahan Prabu Talagamanggung Kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang
gilang-gemilang dan kondisi sosial masyarakatnya semakian tentram dan mapan.
Dengan demikian banyak orang yang berasal dari negara dan daerah lain ikut
menetap di Talaga.
Prabu Talagamanggung
mempunyai seorang menantu yang berasal dari Bangsawan Palembang yang bernama
Palembangunung (suami Putri Dewi Simbarkancana), pada suatu kesempatan
Palembanggunung mengadakan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari
mertuanya. Akhirnya Palembanggunung dengan komplotannya, melalui oleh seorang
pengawal pribadi Sang Prabu, Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata)
ia berhasil mencuri senjata CIS tersebut dan memberikannya kepada
Palembanggunung yang kemudian digunakan untuk menusuk tubuh Sang Prabu. Dalam
peristiwa itu Prabu Talagamanggung terluka dan kemudian tubuhnya menjadi lemas
dan akhirnya meninggal. Jenazah beliau diurus sesuai ajaran Agama Hindu
Kahiyangan, abu jenazahnya di larung di Situ Sangiang[3].
Pada masa hidupnya,
Prabu Talagamanggung mempunyai satu orang putera dan satu orang puteri; Raden
Panglurah dan Raden Dewi Simbarkancana.
Raden
Panglurah
Dari
usia kecil ia sudah rajin melatih diri, berangkat ke Gunung Bitung[4], beliau
bertapa di bekas bertapa uyut beliau, Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Raden Panglurah[5]
adalah seorang sosok putera penguasa (raja) yang memiliki sifat-sifat zuhud,
meninggalkan kesenangan dunia) dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan
mengembangkan asfek-asfek spiritual yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya.
Dalam kata lain Radan Panglurah lebih memilih ketentraman dan kesenangan runani
serta penghambaan kepada Tuhan Semesta alam.
Raden
Dewi Simbarkancana
Raden
Dewi Simbarkancana walaupun seorang puteri beliau banyak memiliki sifat-sifat
kepemimpinan yang diwarisi ayahanda beliau, Prabu Talagamanggung. Beliau
menikah dengan Palembanggunung, Pepatih kerajaan. Pada mulanya Dewi
Simbarkancana tidak mengetahui bahwa kematian ayahanda beliau itu didalangi
suaminya sendiri, akan tetapi sabuni-bunina mungkus tarasi lambat laun kebusukan
sang suami diketahui juga oleh beliau. Sepeninggal Prabu Talagamanggung,
Kerajaan Talaga untuk sementara waktu dikuasai oleh Palembanggunung.
Dewi
Simbarkancana merasa sangat terpukul, beliau ceurik balilihan[6] (menangis
dengan sangat menderita batin) karena dua hal: pertama, karena beliau dihianati
oleh suami beliau sendiri; yang kedua, karena ditinggal oleh ayahanda tercinta
dengan peristiwa yang memilukan. Menurut beliau, siapa orangnya yang tidak
berduka hati ketika ditinggal sang ayah. Ayahanda beliau, sesorang yang sudah
berbuat baik mengangkat derajat Palembanggunung dibalas dengan perilaku yang
sangat keji. Air susu dibalas air tuba itulah yang terjadi. Akhirnya dengan
keberanian beliau, Dewi Simbarkancana berhasil membunuh Palembanggunung dengan
susuk kondenya.
Selanjutnya Raden
Dewi Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya (Raden Palinggih) dari
keraton Galuh, putera dari Prabu Ningrat Kancana. Beliau adalah seorang yang
masagi pangarti (cakap lahir batin), seorang tabib dan ahli strategi. Beliau
berhasil menumpas tuntas gerakan bawah tanah Palembanggunung dan komplotannya,
dengan demikian kekuasaan dapat diambil kembali, keamanan dan ketertiban negara
kembali menjadi stabil dan kokoh.
Dari pernikahan Dewi
Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya membuahkan delapan orang putera, yaitu:
1.
Sunan Parung (Batara Sukawayana);
2.
Sunan Cihaur, (Mangkurat Mangkureja);
3.
Sunan Gunung Bungbulang;
4.
Sunan Cengal (Kerok Batok);[7]
5.
Sunan Jero Kaso;
6.
Sunan Kuntul Putih;
7.
Sunan Ciburang; dan
8.
Sunan Tegalcau.[8]
Perpindahan
Pertama Pusat Kerajaan (ke Walangsuji)
Menyusul kekacauan
yang menimpa keraton Sangiang, yakni dengan adanya rajapati terhadap Prabu
Talagamanggung dan pemberontakan yang didalangi sang menantu durhaka, hal ini
mendorong Ratu Simbarkancana untuk memindahkan pusat kerajaan dari tutugan
Gunung Ciremay ke Walangsuji, di Desa Kagok, Kemantren Banjaran, Kecamatan
Talaga sekarang.
Pusat pemerintahan di
Walangsuji nampaknya tidak begitu lama, boleh dikatakan hanya sapanguluban
waluh. yakni pusat kerajaan hanya bertahan di Walangsuji selama tujuh tahun
tiga bulan[9]. Setelah Penguasa Talaga memandang dari berbagai segi akhirnya
diputuskanlah bahwa Walangsuji kurang strategis untuk tetap dijadikan pusat
pemerintahan Kerajaan Talaga sehingga pusat karajaan harus segera dipindahkan
kembali.
Perpindahan Kedua
Pusat Kerajaan (ke Parung)
Sepeninggal Ratu
Simbarkancana, Kerajaan Talaga dipegang oleh putera sulung beliau yang mendapat
julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan
diserahkan kepada satu-satunya puteri beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang
(1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.
Dewi
Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu
Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari
Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau
Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan
ke Parung.
KERAJAAN TALAGA ISLAM
Ratu
Sunyalarang dan Raden Ragamantri Masuk Islam
Pada
tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadatain, masuk
agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon.
Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar
Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan
kepada beliau dan keluarga besar Talaga serta ungkapan rasa syukur ke Hadhirat
Allah Ta'ala.
Hasil pernikahan Ratu
Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Raganantri, Prabu Pucuk Umum Talaga
dikaruniai enam putra, yaitu:
- Prabu Haur Kuning;
- Aria Kikis, Sunan Wanaperih;
- Dalem Lumaju Ageng Maja;
- Sunan Umbuluar Santoan Singandaru;
- Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; dan
- Dalem Panaekan.
Ratu Dewi Sunyalarang
pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung, dan demi keamanan dan
pengikisan oleh air kemudian makam beliau dipindahkan ke makam keluarga Raden
Natakusumah di Cikiray oleh Raden Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan
Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada
hari Senin, 22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003 oleh
penulis. Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan,
persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon
rotan[10]. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu biasa sebagi
batu nisan.[11]
Perang Talaga Pada
Masa Pemerintahan Arya Kikis
Pada generasi kedua
masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung, Talaga dipimpin oleh
Arya Kikis (Sunan Wanaperih), putera kedua Ratu Parung pada tahun 1550 M. Arya
Kikis adalah seorang Narpati dan da'i Islam yang handal. Beliau mewarisi
ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan
Gunung Djati. Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria
Wiratanudatar atau yang dikenal dengan Dalem Cikundul.
Diawali dangan ikut
campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan
kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah
(lagi susah), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari
Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon
yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan
hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Arya Kikis
melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak.
Di medan laga
sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya
serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam
itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan
para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme
tetap mengadakan perlawanan.
Dengan teriakan dan
gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang
luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor
yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa
akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan
Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga.
Kesepakatan Keraton
Ciburang
Karena peristiwa itu
Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke
Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya
Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan
mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar
dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala.
Sesuai dengan
kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para
Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam; yang menyatakan bila Kanjeng
Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng
Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah.
Ternyata kesepakatan
di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah
Kanjeng Sinuhun Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan
Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada
satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga
hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.
Kemudian Susuhunan
Cirebon, Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Arya Kikis untuk
bertafakur di kampungnya yaitu Leuweung Wana yang selanjutnya disebut
Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan
Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh
Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati.
Sunan Wanaperih
mempunyai enam orang anak, empat orang putera dan dua orang puteri. Mereka
adalah:
- Dalem Kulanata Maja[12];
- Dalem Cageur Darma;
- Raden Apun Surawijaya;
- Ny. Ratu Radeya[13];
- Ny. Ratu Putri[14]; dan
- Dalem Waqngsagoparana[15].
Pemerintahan Raden
Apun Surawijaya.
Raden Apun Surawijaya
memerintah Talaga sepeninggal ayahanda beliau Arya Kikis pada tahun 1590.
Beliau adalah seorang Narpati Talaga yang gagah rongkah sakti mandraguna, akan
tetapi sangat mencintai dan dicintai para pembantu beliau dan bahkan dengan
kegagahan dan wibawanya itu beliau ditakuti lawan. Makam beliau terdapat di
Kampung Lemah Abang, Desa Cikeusal, Kecamatan Talaga-Majalengka.
Raden Apun
Surawijaya, Sunan Kidul mempunyai empat orang putera yaitu:
- Dalem Salawangi;
- Sunan Cibalagung (Cianjur);
- Pangeran Surawijaya (Sunan Ciburuy); dan
- Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje.
Sebagaimana kita
ketahui bahwa pada masa pemerintahan Raden Apun Surawijaya Kerajaan Talaga
sudah dibawah kekuasaan Cirebon. Walaupun demikian Sang Narpati Talaga itu
tetap setia dan patuh pada Kesepakatan Ciburang yang telah dibuat oleh para
pembesar Talaga maupun Cirebon. Agama Islam dan perasaan "saakar jeung
sakaruhun" telah merekatkan tali persaudaraan dan tali kekeluargaan kedua
negara tersebut. Memang ada kata-kata leluhur yang mengatakan: "Ari numoro
(nyangkalak) rampog-mah Talaga, nanging ari congcotnya bagian Cirebon". Demikian
ini mungkin diucapkan untuk menyatakan adanya ketidak adilan yang muncul, dan
itulah nampaknya yang menyebabkan Perang Talaga berlangsung.
Sebagai seorang
penguasa yang dicintai dan mencintai rakyatnya, Raden Apun Surawijaya telah
berhasil meningkatkan tingkat kesejahteraan para petani. Pada masa beliau
berbagai bendungan irigasi (dam) dibangun, beliau sangat memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan rakyat, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Pemerintahan Raden
Arya Adipati Surawijaya.
Raden Arya Adipati
Surawijaya (Sunan Ciburuy), putera ketiga Raden Apun Surawijaya menjadi raja
menggantikan ayahnda beliau pada tahun 1635 M. Beliau menikahi Ratu
Kartaningrat, adik Sultan Panembahan Kasepuhan Cirebon. Raden Arya Adipati
Surawijaya dalam melaksanakan tugas pemerintahannya didampingi Sang Patih, Aria
Paningsingan, seorang senapati yang gagah dan berani.
Dari hasil pernikahan
antara Raden Arya Adipati Surawijaya dengan Ratu Kartaningrat beliau dikaruniai
Allah SWT lima orang putera dan satu orang puteri, yakni:
1. Pangeran Adipati Suwarga;
2.
Pangeran Jayawiriya;
3.
Pangeran Kusumayuda;
4.
Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje, Subang);
5.
…………………..(tidak diketahui namanya); dan
6.
Ratu Puteri Tilanagara.
Pemerintahan Raden
Adipati Suwarga
Selanjutnya
yang memerintah Talaga adalah putera cikal Raden Arya Adipati Surawijaya yang
bernama Pangeran Adipati Suwarga, beliau naik tahta tahun 1675 M. Pangeran
Adipati Suwarga menikahi dua orang isteri, yaitu:
1.
Ratu Losari Cirebon; dan
2.
Nyi Mas Jitra dari Nunuk (Cengal).
Dari
pernikahan Pangeran Adipati Suwarga dengan Ratu Losari dikaruniai putera yang
bernama Pangeran Aria Sacadilaga, sedangkan dari penikahan beliau dengan Nyi
Mas Jitra dikaruniai putera yang bernama Pangeran Adipati Wiranata.
Talaga Terpecah
Menjadi Dua Kerajaan
Ketika Pangeran
Adipati Wiranata mau dinobatkan sebagai Narpati Talaga tahun 1715 M muncul
protes dari putera Pangeran Kusumayuda yang bernama Pangeran Natadilaga. Beliau
merasa berhak untuk menjadi Narpati Talaga. Melihat kondisi demikian, para
sesepuh Talaga segera mengadakan musyawarah dengan keputusan bahwa Talaga harus
dibagi dua, yakni menjadi dua kesultanan:
1.
Kesultanan Talagakidul, yang dipimpin oleh Adipati Wiranata; dan
2.
Kesultanan Talagakaler, yang dipimpin oleh Pangeran Natadilaga.
Ketika itu pula
disepakati bahwa Talaga dibagi menjadi empat sudut mata angin Kabupatian yang
meliputi:
- Kebupatian Talagakidul; dipimpin oleh Pangeran Adipati Sacanata, putera ke-3 Pangeran Adipati Wiranata;
- Kebupatian Talagakaler; dipimpin oleh Pangeran Arya Sacadilaga, putu Pangeran Arya Natadilaga;
- Kabupatian Talagawetan; dipimpin oleh Pangeran Kartanagara, putera ke-4 Pangeran Adipati Wiranata; dan
- Kabupatian Talagakulon; dipimpin oleh Dalem Surya Sepuh, putu Pangeran Adipati Jayawiriya.
Keempat bupati dari
empat Kabupatian Talaga ketika itu mendapat julukan Pangeran Papat, karena
dalam satu masa yang bersama-sama mengurus Negara Talaga.
Masuknya Dajjal (Kaum
Penjajah) dari Erofa di Talaga
Seiring masa berlalu
munculah "munding-munding bule" di bumi pertiwi, yakni dimulai dengan
datangnya perjajah Portugis, Spanyol, dan akhirnya Belanda (VOC). Dengan
politik Devide et impera atau politik pecah belah, pada umumnya mereka berhasil
menaklukkan kerajaan-kerajaan di tanah air, tidak terkecuali Talaga.
Pada tahun 1806 M
Belanda menjadikan empat Kabupatian Talaga menjadi satu kabupatian dengan
bupatinya Pangeran Arya Sacanata II. Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1818 M
Kabupatian Talaga digabung dengan Kabupatian Sindangkasih menjadi Kabupaten
Majalengka yang kita kenal sekarang.
Sesuai dengan rencana
licik VOC bahwa sebagai konsekuensi digabungnya dua kabupaten itu mengharuskan
Bupati pindah dari Talaga ke Majalengka. Pangeran Sacanata II sebagai Bupati
Majalengka ketika itu menolak untuk meninggalkan Talaga dan akhirnya
dipensiunkan oleh Belanda (VOC) dengan hak jasa pensiun sebidang tanah sawah
lima puluh bahu. Dengan demikian Pangeran Sacanata II (Eyang Regasari) mendapat
julukan Bopati Panungtung Talaga.
Sebutan "Bopati
Talaga" Menjadi "Sesepuh Talaga"
Karena dari rundayan
Talaga pasca penggabungan antara Kabupatian Talaga dan Sindangkasih itu tidak
ada yang memegang kekuasaan secara politik, maka para sesepuh Talaga
bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan memegang dan mengurus
benda-benda pusaka karuhun Talaga. Ketika itu disepakati bahwa yang berhak
mengurus benda-benda itu adalah keturunan yang mempunyai hubungan langsung dari
Pangeran Sacanata II dari pihak anak laki-laki, jika anak laki-laki tidak ada
maka pihak perempuan pun diperbolehkan asal jika mempunyai anak laki-laki maka
pengurusan benda pusaka harus kembali dipegang pihak laki-laki.
Beriku ini adalah
orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga,
yang selanjutnya mereka disebut para Sesepuh Talaga:
- Pangeran Sumanagara (1820-1840 M), putera sulung Pangeran Arya Sacanata II;
- Nyi Raden Anggrek (1840 – 1865 M), puteri Pangeran Sumanagara;
- Raden Natakusumah (1865 – 1895 M), putera Nyi Raden Anggrek;
- Raden Natadiputra (1895 – 1925 M), putera Raden Natakusumah;
- Nyi Raden Masri'ah (1925 – 1948 M), puteri Raden Natadiputra;
- Raden Acap Kartadilaga (1948 – 1970 M), suami Nyi Raden Masri'ah;
- Nyi Raden Mardiyah (1970 – 1993 M), puteri Daden Acap kartadilaga;
- Raden Oo Mohammad Syamsuddin (1993 – 2001 M), putera Nyi Raden Mardiyah; dan
- Raden Abung Syihabuddin (2001 – sekarang), putera Raden Oo Mohammad Syamsuddin.
Islam di Talaga
Berkebang Secara Damai
Agama Islam di
wilayah Kerajaan Talaga berkembang pesat berkat kerja keras dan suri tauladan
yang indah dan cinta damai dari para da'i Islam yang didukung toleransi penuh
dari para penguasa Hindu Kahiyangan baik yang menguasai Talaga, Galuh, maupun
Pakuan Pajajaran. Bayangkan jika tidak ada toleransi dari para penguasa Hindu
yang ada di tanah Pasundan, mungkin sekali penyebaran Islam di Talaga khususnya
dan Tanah Pasundan umunya akan dipenuhi dengan cucuran darah dan pertumpahan
darah.
Insya Allah,
kemakmuran dan kedamaian Talaga akan senantiasa tercipta manakala segenap
penduduknya senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, saling mengasihi dan
menyayangi, mengembangkan budaya toleransi dan menjauhi budaya kekerasan. Kita
harus senantiasa ingat bahwa budaya kekerasan Wahabiyah, melalui gerakan DI TII
yang sempat mengoyak-oyak sebagian wilayah Talaga tidak terulang lagi.
Amin dan
Alhamdulillahirabbil 'alamiin.....
Penulis: Anton
Sugara
[1] Letak kuburan
Raden Raga Mantri, cucu Bagawan Garasiang dan Raden Pamanah Rasa terletak di
luar bangunan yang biasa dipakai tahlilan para penziarah, di bawah pohon
besar dengan tiga buah batu biasa sebagai batu nisannya, sesuai pesan spiritual
beliau. Peletakan batu nisan penulis lakukan dibantu oleh kuncen situs, Bapak
H. Emod dan sahabat penulis Suharto.
[2] Kata Siliwangi
berasal dari kata Silih yang berarti pengganti atau penerus dan Wangi yang
berarti wangi atau harum. Dengan demikian, makna dari nama Prabu Siliwangi
mempunyai pengertian bahwa beliau adalah Pengganti atau Penerus Prabu Wangi
(Wangisutah) yang gugur di alun-alun Bubat Majapahit (sekarang terletak di
Kec.Trowulan Kab.Mojokerto) pada tahun 1357 M dalam mempertahankan kehormatan
dan wibawa Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, rombongan dari Pajajaran bermaksud
untuk mengawinkan puteri beliau Putri Diyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk
atas pinangan Sang Raja. Ketika itu rombongan calon penganten perempuan
berhenti dan membuat pasangrahan di alun-alun Bubat sambil menunggu jemputan
Raja Hayam Wuruk (calon penganten laki-laki). Rupanya niat mulia Prabu Wangi
(Wangisutah) dan Raja Hayam Wuruk tidak dikehendaki oleh Patih Gajah Mada, ia
mengadakan "gerakan rahasia" yang tidak diketahui oleh rajanya
sendiri. Gajah Mada dengan pasukannya yang sangat besar mengepung dan menyerbu
rombongan calon pengantin perempuan sehingga menyebabkan gugurnya Sang Mokteng
Bubat (Prabu Wangi), Putri Diyah Pitaloka dan para pengawalnya. Adapun sebutan
Prabu Siliwangi I adalah Prabu Wastu Kencana yang memindahkan pusat Kerajaan
Pajajaran dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (Bogor). Pada masa pemerintahan Prabu
Wangi, Prabu Siliwangi I dan Prabu Siliwangi II Kerajaan Pajajaran dibawah satu
kekuasaan atau dalam kata lain Pasundan Timur dan Pasundan Barat bersatu di
bawah satu Raja. Pasca Rahiyang Wastu Kencana, Kerajaan Pasundan terbagi dua;
yakni Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Ciamis dibawah kekuasaan Ningrat
Kancana dan Kerajaan Pakuan yang berpusat di Bogor di bawah kekuasaan Prabu
Susuktunggal. Pada masa Prabu Siliwangi II itulah Pasundan bersatu lagi menjadi
Pakuan Pajajaran yang berpusat di Bogor.
[3] Menurut Babad
Talaga, setelah peristiwa pembunuhan itu Prabu Talagamanggung beserta
keratonnya ngahiyang (menghilang) dan menjadi Situ Sangiang sekarang. Menurut
penulis sendiri, arti "ngahyiang" itu tidak lain melainkan Inna
lillahi râjiûn wa inna ilahi râjiûn dalam arti Kembali Ke Sang Hiyang (Tuhan)
dan bukan tilem.
[4] Gunung Bitung
tepatnya sebelah selatan Talaga, Desa Wangkelang, Kecamatan Cikijing, Kabupaten
Majelangka. Tempat pertapaan Raden Panglurah sampai sekarang sering diziarahi
orang.
[5] Penulis merasa
prihatin karena Patung Raden Panglurah hingga sekarang masih berada di negeri
Belanda, adapaun patung adik beliau Bunda Raden Dewi Simbarkancana masih ada
dan terawat baik di Talaga.
[6] Istilah ceurik
balilihan dan makna beberapa kata berikutnya adalah dari Bunda Dewi
Simbarkancana sendiri, diberitahukan beliau kepada penulis secara spriritual
pada tanggal 28 Januari 2008, kira-kira pukul 20.45 WIB.
[7] Petilasannya
masih terdapat di Desa Cengal, kira-kira 1 km Kampung Cadas, Desa Anggrawati,
Kecamatan Maja-Majalengka.
[8] Petilasannya terdapat
di Blok Galumpit (Tegal Cawet) Desa Tegalsari-Maja.
[9] Angka 7 tahun 3
bulan ini berdasarkan keterangan Bunda Ratu Simbarkancana, pada tanggal 27
Januari 2008 yang disampaikan secara spiritual kepada penulis.
[10] Tadinya penulis
tidak menyangka bahwa di atas kuburan beliau betul-betul hanya ada satu pohon
rotan (ketika itu sudah pugur dengan satu lembar daun) sesuai dengan
tanda-tanda yang disebutkan dalam Babad Talaga, Subhanallah.
[11] Penemuan letak
makam Raden Ragamantri telah dicek dan diakui kebenarannya oleh Kang Yuyun,
Spiritualis Talaga beberapa waktu setelah penulis memohon beliau untuk mencek
kebenaran apa yang telah disampaikan Eyang Ragamntri kepada penulis secara
spiritual itu.
[12] Beberapa tahun
yang lalu, Dalem Kulanata memberitahu kepada Kakanda Penulis, Mahfuddin melalui
mimpi agar makam beliau yang terletak di pemakaman umum Maja Selatan diperbiki.
Hal ini sudah diberitahukan kepada kuncen pekuburan.
[13] Dinikahi oleh
Ariya Paningsingan
[14] Dinikahi oleh
Syekh Sayyid Pamijahan
[15] Menurunkan para
penguasa di Sagalaherang Subang dan Cianjur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar